Kamis, 02 April 2009

Poetry Slam!: Adu Berpuisi

Poetry slam atau adu puisi adalah sebutan untuk kompetisi pembacaan puisi. Siapa pun bebas mendaftar dan tampil di panggung untuk membacakan karya mereka. Penampilan tiap peserta kemudian akan dinilai. Umumnya peserta harus membaca karya sendiri. Namun ada juga yang tidak.

Adu puisi sangat populer di Amerika. Pertama kali dikenalkan oleh Marc Smith pada tahun 1984 di Chicago, kini bahkan ada kompetisi National Poetry Slam yang diikuti hingga 75 tim dan diselenggarakan berhari-hari. Populernya kontes berpuisi ini juga yang memicu kemunculan pementas syair (performance poet), para penyair yang memunculkan kekuatan kata melalui dengan mementaskannya. Termasuk di antaranya penyair hip-hop. Penyelenggaraan poetry slam sudah meluas hingga negara-negara Eropa. Di Asia-Pasifik, Singapura dan Australia termasuk yang sudah sering menyelenggarakan ajang serupa.

Di Indonesia, adu puisi masih jarang kita temui. Karena itu, "Better Read than Dead" Poetry Slam di Bebek Bengil adalah satu acara Ubud Writers and Readers Festival 2007 yang saya tunggu-tunggu.


Suasana Apresiatif
Hal Judge menjadi MC acara dan membawakannya sesantai DJ stasiun radio. Untuk mencairkan suasana penonton yang beragam (warga asing dan Indonesia), misalnya, ia menceritakan berbagai kecelakaan berbahasa yang ia catat selama di Indonesia. Sebagai contoh, di Ubud ia pernah disapa seorang warga lokal, "Hai, Haley. Mau ke mana?"

Berhubung Hal baru mempelajari idiom baru, ia lantas menggunakannya, "Makan angin." Sayang sekali, ia masih mengucapkannya dengan lidah bahasa ibunya, sehingga terdengar menjadi, "Makan anjin'."

Ia juga menyampaikan format dan aturan adu berpuisi malam itu:

  1. Puisi yang dibacakan harus karya sendiri

  2. Tim juri terdiri dari tiga orang yang ia tunjuk sebelumnya

  3. Tiga hal yang dinilai adalah: isi, penyampaian, dan penjalinan emosi dengan hadirin--yang akan dilihat dari riuhnya tepuk tangan.


Selagi menunggu peserta bertambah, ia mempersilakan dua orang penyair tamu untuk mulai.


Yang pertama adalah Miriam Barr dari Auckland. Seorang pementas syair berpengalaman, ia telah menjuarai berbagai ajang adu berpuisi, termasuk Poetry Idol. Pada penampilannya di Bebek Bengil, ia menunjukkan kekuatan visualnya dalam syair.


Berikutnya adalah Miles Merrill, yang disebut media massa sebagai "seorang pementas kata yang menakjubkan". Dan ia membuktikannya hanya dalam beberapa detik setelah memegang mikrofon. Melalui sketsa pembuka "I care for people", ia menunjukkan kisar dan bentuk vokal yang bervariasi. Plus humor yang menggelitik. Sebagai seorang kelahiran Chicago yang telah menjadi warga Australia semenjak sepuluh tahun lalu, ia mengajak hadirin menertawakan stereotipe dialek Australia yang sulit dimengerti.

Barulah kemudian ia masuk ke puisi sebenarnya. Ia membawakan dua karya. Salah satunya adalah puisi yang ia tulis ketika sedang berkemah di Australia. Angin topan meniup dan menggulingkan tenda, beserta dirinya yang masih di dalam. Miles mementaskan puisi tersebut seperti sebuah dongeng, menyeret hadirin ke dalam dunianya. Kadang ia menjadi angin. Menjadi tenda. Menjadi daun. Atau dirinya yang berteriak, "Stop pounding at my weak shelteeeeer!"

Tanpa sadar, kita menjadi telinga, hidung, dan mata Miles. Saat semuanya beralih sunyi. Dan ia menengadah, menyaksikan, "Half the sky is stars. Half the sky is stars."

Atap saung Bebek Bengil seperti mau roboh oleh tepukan tangan. Hal kemudian mengundang peserta pertama untuk maju. Dan inilah yang menakjubkan. Walaupun kesan penampilan Miles sangat dalam, ini tidak memengaruhi standar hadirin. Penonton tetap mengapresiasi dengan tulus pementasan tiap peserta.

Bahkan penampilan hancur seperti seorang peserta dari Rembang, yang mengaku bernama Gato Loco, tetap diberi applause. Seberapa hancur? Ia datang dengan menggunakan kacamuka hitam. Menyetel suara latar belakang ala militer. Merokok dengan sembarangan (karena sebenarnya dilarang). Lantas membaca puisi dengan gaya mabuk. Di tengah pembacaan, ia membuka kaos hingga memperlihatkan diri yang mengenakan kemben. Lantas setelah pentas berakhir, ia membagikan kertas berisi syair puisinya. Masih sambil merokok.


Bahkan Hagar Peeters yang tampil serampangan dengan gaya mabuk juga tetap diapresiasi. (Mungkin gaya mabuk sedang tren.)


Menikmati Beragam Suara
Yang menarik dalam sebuah slam adalah variasi "suara" para penyair. Ada yang membacakan puisi dalam nyanyian. Ada yang menampilkan emosi, cerita, atau karakter. Bisa berdasarkan pengalaman nyata maupun sama sekali rekaan.


Seorang peserta dari Malaysia yang membawakan puisi dengan nyanyian.


Abe Soares dari Timor Leste bahkan menggunakan gitar sebagai alat bantu.


Bisa tampil sendirian atau barengan. Debra Yatim, sebagai contoh membawakan puisi tentang Aceh yang dimuat dalam Asian Literary Review. Nelden dan Zulaika mendukung sebagai penyanyi latar. Saya dan Mas Wiratmadinata juga dimintai turut serta di sini sekadar untuk melafalkan dzikir.


Penilaian Tetap Tegas
Walaupun suasananya sangat apresiatif, ini tetaplah kompetisi. Sehingga juri tetap tegas. Kadek Krishna, sebagai jubir memberikan beberapa komentar tajam. Bukan hanya peserta, komentar ini juga menyangkut penyair tamu.

Penampilan Mas Wiratmadinata dan Angelo Suarez, misalnya. Keduanya memiliki kemiripan dalam pementasan pertama: sama-sama melibatkan penonton. Angelo mementaskan "puisi tererotik sedunia dalam satu menit" dengan cara meminta para hadirin menghitung dari satu hingga enam puluh keras-keras. Selama itu, ia berlarian sekeliling saung sambil terus-menerus berteriak, "This is an erotic poem for sixty seconds if I say so!"


Angelo berteriak, memekik, dan melengking di atas meja pada pembacaan puisi keduanya.


Sementara itu, Mas Wira membagi hadirin menjadi tiga bagian. Sisi kanannya diminta meneriakkan, "Ada anjing!" Sisi kirinya, "Ada serigala!" Sementara bagian tengah, "Dalam kepalaku!" Lantas ia memberi aba-aba bagian mana yang harus berteriak. Hingga makin lama makin cepat. Mas Wira sendiri ikut berteriak semakin keras, sehingga--hebatnya--mengalahkan suara hadirin. Rangkaian ini diakhiri dengan Mas Wira meneriakkan kalimat akhir, "Mencari kata-kata."

Walaupun sambutan untuk kedua penampilan ini luar biasa, Kadek Krishna berkomentar dengan nada bercanda, "Kalian semua sudah dimanipulasi. Sehingga standar kalian jadi rendah."

Ada peserta yang mengurungkan niat membaca puisi dan akhirnya malah bercerita pengalaman diri. Ada dua peserta yang membaca puisi dari SMS. Untuk kedua hal ini, jubir juri hanya menggeleng-geleng, "Not good."

Selanjutnya, juri pun mengumumkan para pemenangnya.


Daniella, pemenang pertama, yang membawakan puisi ala rap. Muncul menjelang akhir acara, sambutan penonton pada penampilannya bahkan mengalahkan riuh tepuk tangan untuk Miles.


Pemenang lainnya meliputi Kerry Pendergrast, penyanyi dan pementas teater yang sudah enam belas tahun tinggal di Bali, saat itu membawakan puisi berwawasan dalam dan humoris mengenai Ubud, Sekala-Niskala. Dan seorang peserta dari Jakarta yang melantunkan puisi dengan gaya vokal mirip Beyonce. Nilai kedua peserta ini seri, sehingga mereka harus mengulang kembali penampilan. Hasil akhir ditentukan dari tepuk tangan hadirin.

Dan acara ini pun berakhir. Ironisnya, Hal Judge, sang pengumpul insiden berbahasa, justru kecelakaan saat menutup acara. Ketika berterima kasih pada pihak restoran Bebek Bengil, ia mengucapkannya sebagai "Bebek Bangle". Setidaknya ia jadi punya bahan untuk adu puisi tahun depan.


Mempopulerkan Adu Puisi Di Indonesia
Berat rasanya meninggalkan acara tersebut. Suasana kreatif dan apresiatif di dalamnya begitu memabukkan. Hanya dengan menghadiri acara tersebut, saya jadi ingin menguntai kata dan mementaskan cerita. Padahal saya bukan penyair. Seperti yang saya tulis dalam prakata Bertanya atau Mati, usaha saya membuat puisi bisa membuat seekor tikus yang terjebak perangkap terdengar seperti Shakespeare.

Namun itulah intinya: acara ini membuat orang-orang jadi berani dan bersemangat untuk menulis maupun menikmati puisi. Dan ini jauh lebih penting daripada mendiskusikan teori-teori kesusasteraan.

Bayangkan acara-acara seperti ini marak dalam kegiatan sekolah seperti pensi, misalnya. Atau menjadi alternatif kegiatan di kampus, alih-alih pentas musik ingar-bingar yang selalu menyetel 40 lagu terpopuler saat itu.
Bayangkan puisi menjadi bagian dari kehidupan normal, sehingga seseorang dapat berkata kepada temannya, "Eh, pernah dengar puisi ini nggak?" Dan temannya benar-benar mendengarkan. Bukan malah menertawakan.

Mengapa tidak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar