Kamis, 02 April 2009

Pendekatan untuk Penilikan Naskah

Berhubung sejumlah pertanyaan sama kerap bermunculan berkaitan penerbitan, saya mendirikan pojok ini agar dapat memberikan gambaran akan jawabannya. Jangan sekadar terima begitu saja, karena penerbitan karya adalah suatu pengalaman yang bisa berbeda-beda bagi setiap orang.

Tanya (T): Aku pernah ngirim naskah ke [nama penerbit], tapi belum ada konfirmasi juga. Saya baru telepon lagi namun disuruh menunggu. Memang berapa lama prosesnya,ya? Apa sampe empat bulanan?

Jawab (J): Rata-rata, penilikan naskah itu memang tiga bulanan. Tergantung dari kesigapan tim redaksi dan jumlah naskah yang masuk, waktu penilikan ini bisa lebih singkat (ada yang hanya dua minggu) atau memanjang (ada yang sampai lima bulan baru konfirmasi).

Kuncinya di sini: proaktif. Saya selalu menekankan pada para penulis yang ingin mulai menerbitkan buku, agar saat menyampaikan naskah itu berkenalan dulu dengan salah satu editor dari redaksi bersangkutan. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan kontak yang jelas (ada nama jelas dan wajah yang kita ingat, bukan sekadar nama generik seperti Editor Fiksi).

Dengan begitu, kamu bisa selanjutnya menghubungi orang tersebut untuk mengonfirmasi status naskah setelah, sebagai contoh saja, dua minggu.


T: Aku sering menanyakan tapi selalu diminta menunggu. Bagaimana nih?

J: Setiap kali menanyakan status konfirmasi, jangan sekadar mencari jawaban "Sudah" atau "Belum" saja. Lebih penting adalah mengetahui prosesnya. Jika dikatakan belum selesai, tanyakan saja dengan sopan, perkembangannya sampai mana. Dan kalau boleh tahu, prosedur penilikannya seperti apa, agar kamu memiliki gambaran sudah sejauh mana prosesnya.

Penerbit yang kredibel akan memberitahu secara jujur dan tidak akan mencari-cari alasan.

Contoh jawaban kredibel:
  1. "Oh, proses penilikan naskah di sini perlu disetujui minimal dua editor dulu. Sejauh ini baru satu editor yang menilai ada potensi. Jadi, kalaupun ada kesepakatan, mungkin perlu revisi besar-besaran. Gimana?"

  2. "Maaf, banyak naskah yang ngantre nih. Dalam dua minggu terakhir ada sekitar 200-an yang masuk. Jadi naskah Mas belum sempet kami baca."

Contoh yang meragukan:
  1. "Ya, sama lah kayak penerbit-penerbit lain. Masa gitu aja nggak tahu?"

  2. "Naskah kamu lagi dibicarain, kok. Tunggu, lah. Sekitar dua minggu lagi pasti ada kepastian." (Catatan: kalau dua minggu lagi ngomongnya masih sama, akan semakin meragukan)

Contoh yang sangat meragukan:
  1. "Bentar. (terdengar suara teriakan di latar belakang) Wooooi! Ada yang tahu kabar naskah [nama kamu] nggak? Hah? Lu pake buat ke belakang!?"

T: Tapi tiga bulan itu kelamaan. Boleh nggak, aku kirim naskahku ke beberapa penerbit sekaligus. Kan menghemat waktu, tuh?

J: Saya sarankan tidak. Karena mengirimkan naskah yang sama ke beberapa penerbit sekaligus itu tidak etis. Bagaimana jika satu penerbit menghubungi kamu karena tertarik, tapi jawaban kamu adalah, "Wah, maaf, saya sudah menerima tawaran dari penerbit lain." Berarti editor/redaksi penerbit yang menghubungi kamu itu sudah membuang-buang waktunya untuk menilik naskah kamu. Ini pun tidak adil bagi para penulis lain yang naskahnya diantrekan setelah kamu.

Lebih baik, tentukan beberapa penerbit yang kira-kira sesuai dengan tujuan/idealisme kamu. Terus urutkan prioritasnya. Kirimkan naskah dan konfirmasikan status penilikannya secara rutin. Tariklah naskah kamu jika merasa tidak ada perkembangan pasti menuju suatu kerja sama. Dan tawarkan ke penerbit berikutnya.

Akan lebih baik lagi jika di antara menunggu konfirmasi itu, kamu sudah mulai menulis draf untuk buku berikutnya.


T: Kalau saya punya lebih dari satu naskah, gimana? Apa lebih baik ditawarkan ke penerbit sama sekaligus?

J: Kalau Anda sudah pernah bekerja sama dengan penerbit itu dan merasa cocok, silakan. Namun, jika belum, lebih baik tidak. Karena nama kamu belum dikenal di penerbit tersebut, kemungkinan naskah kamu akan tetap diantrekan. Sehingga waktu penantiannya bisa lama. Belum nanti bisa bingung untuk menanyakan status masing-masing naskah.

"Naskah yang mana?" tanya sang editor.

"Yang settingnya kerajaan, tentang cinta bertepuk sebelah tangan antara pangeran dan kodok."

"Yang kodoknya ternyata laki-laki, ya?"

"Bukan, yang kodoknya lebih suka sama angsa."

"Saya jadi pusing, nih dengernya."

"Bukan, dialog itu sih di naskah satu lagi, yang tentang kuda sama putri."

"Nggak, saya benar-benar pusing nih."

"Nah, betul. Yang ada dialog itu. Yang--lho. Halo? Halo?"

Saran saya: tawarkan saja masing-masing naskah ke penerbit berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar