Selasa, 14 April 2009

Terburuk Sedunia #2

Dalam buku Dari Soekarno Sampai SBY, Megawati diceritakan pernah berusaha menghibur partainya dengan berkata, "Kita bukan kalah, tapi kurang suara!"

Menarik sekali. Mari kita jadikan ini sebagai permainan kepenulisan terburuk sedunia!

Tulislah ujaran, ucapan, komentar, atau hiburan terburuk di seluruh dunia (lengkap dengan situasinya):
  1. Seorang kritikus kuliner: "Makanan ini tidak hambar, hanya tak berasa!"

  2. Seorang tetangga pada anak yang menangis tersedu-sedu, "Ayahmu bukannya meninggal, melainkan tak bernyawa."

  3. "Kamu nggak gemuk kok," ujar seorang pria pada istrinya. "Cuman nggak bisa menemukan pakaian yang muat aja," dia lantas pura-pura batuk sambil menambahkan perlahan, "di seluruh dunia."

  4. "Kalian tidak buta aksara!" seru sang guru pada seluruh kelas, "Hanya tak bisa membaca!"

  5. "Kau nggak bodoh," usap sang Kakak pada kepala adiknya. "Hanya tak berakal sehat."

  6. Si teknisi mengernyitkan kening, "Laptopmu nggak rusak kok, cuman nggak akan bisa dipakai lagi sebelum diperbaiki."

  7. "Kau bukannya nggak ada jodoh," hibur seorang teman. "Cuman belum laku aja. Selama 40 tahun."
Silakan mulai! Anda bukannya tak berminat kok, hanya enggan mencoba.

Kamis, 02 April 2009

Tiga Poin Penulisan Fiksi yang Dilihat Editor

Hetih Rusli, editor fiksi GPU, berbagi seperti apa "Naskah Novel yang Saya Sukai" dalam blog Virus Baca.

Dia mengemukakan tiga poin penting:
  1. Penokohan
    Tokoh harus benar-benar hidup, bukan hanya tertuang di atas kertas. Dan--ini bagian yang saya suka--"tolong deh, nggak perlu menyebutkan semua karakteristik tokoh lengkap dengan sifat-sifatnya pada halaman 2, paragraf pertama sehabis si tokoh datang terlambat ke sekolah."


  2. Alur cerita
    Alur cerita harus memiliki tujuan. Bukan karena ingin pamer pengetahuan atau alasan yang lebih kacau: "Because I like it."


  3. Tema cerita
    Dia juga menyampaikan apa yang sering saya dan Donna sampaikan dalam lokakarya menulis: jadilah otentik, bukan orisinal.

Proses Menerbitkan BaM

Dalam merintis kerjasama penerbitan buku pertama saya, Bertanya atau Mati (BaM), dengan Gramedia Pustaka Utama (GPU), saya melakukan langkah-langkah berikut:
  1. Bikin Preliminaries Naskah, yaitu:
    • Judul
    • Daftar Isi
    • Ucapan terima kasih
    • Prakata
    • Bab I naskah
    • Daftar pustaka
    • Perihal Penulis
    • (tambahan) Latar belakang dan trend pasar buku humor
    • (tambahan) Perkiraan target pembaca yang akan tertarik membeli buku ini
    • (tambahan) Ajuan strategi pemasaran untuk buku ini

  2. Cetak semua dan masukkan folder.
  3. Saya tidak mencetak semua naskah. Penerbit dapat menentukan tertarik atau tidak dari preliminaries saja. Karena itu, ada saja penulis (biasanya yang sudah langganan bestseller) yang bukunya belum beres pun sudah bisa menjalin kerjasama.

  4. Menghubungi Penerbit (dalam Kasus Ini GPU Bagian Nonfiksi)
  5. Saya memberitahu bahwa saya memiliki naskah untuk kerjasama penerbitan buku. Mengapa saya bilang "kerjasama"? Karena memang penulis dan penerbit adalah rekanan. Tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Keduanya saling membutuhkan. Dan untuk kerjasama tentunya membutuhkan kecocokan dari kedua pihak, bukan hanya dari satu sisi.

    Saat itu saya diminta untuk mengirim naskahnya.

    Saya meminta untuk bertemu muka. BaM adalah suatu konsep yang tidak umum di Indonesia. Saat saya mendiskusikan ide buku ini dengan seorang teman saja pernah terjadi dialog seperti berikut:
    Teman: "Jadi buku kamu nanti tentang apa?"
    Saya: "Kumpulan esai humor."
    Teman: "Oh. Seperti apa, tuh?"
    Saya: "Seperti buku Seinfeld, Dave Barry, Bill Cosby--"
    Teman: "Bill Cosby nulis buku?"
    Saya: "Euh, ya."
    Teman: "Buku kaya apa?"
    Saya: "Ah, kumpulan esai humor."
    Teman: "Seperti apa, tuh?"
    Karena itu, walaupun telah menyusun profil pemasaran buku, saya merasa perlu untuk menjelaskan buku tersebut secara empat mata.

  6. Bertemu dan Berdiskusi dengan Editor.
  7. Saya berkenalan dengan Pak Dwi, salah satu editor nonfiksi. Setelah diskusi yang hangat (karena AC-nya kebetulan sedang mati), kami meraih semacam pengertian bersama (belum persetujuan, karena preliminaries-nya masih perlu ditilik).

  8. Ajuan Kerjasama Saya Disambut Baik oleh GPU
  9. Sudah lebih dari satu bulan lewat, karena perlu ada riset langsung oleh marketer GPU ke toko-toko mengenai potensi pasar buku seperti ini. Saat diberitahu mengenai hal ini, yang terbayang di benak saya adalah;
    Marketer: "Bang, kalau ada buku judulnya 'Bertanya atau Mati', mau beli kagak?"
    Pemilik Toko: "Politik?"
    Marketer: "Humor."
    Pemilik Toko: "Hahahaha becanda, lu!"
    Marketer: "(nelepon GPU) Kayanya bakal laris, nih."
  10. Penandatangan Perjanjian Kerjasama
  11. Yang terutama saya perhatikan dalam surat perjanjian tersebut adalah:

    • Poin bahwa Hak Cipta karya tetap di tangan pengarang. Penerbit hanya memiliki hak untuk menerbitkan dan menjual karya tersebut.

    • Jumlah cetakan awal

    • Jumlah royalti untuk pengarang

    • Metode pembayaran royalti dari penerbit kepada pengarang

    • Batas waktu hak penerbitan oleh mitra saya

    • Klausul bahwa hak penerbitan dapat dialihkan pada pihak lain jika pengarang merasa bahwa karyanya kurang diperhatikan rekan penerbit
  12. Saya Menyerahkan Naskah (Softcopy dan Hardcopy) ke GPU

  13. Proses Penyuntingan Naskah bersama Editor
  14. Di sini saya bekerja sama dengan Rina, yang banyak memberi masukan sehingga bahasa dalam BaM terasa lebih alami.

  15. Saya Memilih Untuk Mengusahakan Desain Sampul Sendiri
  16. Sebenarnya bisa saja urusan cover diserahkan pada penerbit. Tapi saya pilih meminta bantuan teman saya, Poetoe, untuk mendesain. Alasan utama adalah karena komunikasi lebih enak. ("Yang bener aja, Poet! Masa muka gua terlihat ganteng di sini?" "Ya udah, aku jadiin gigi kamu ompong, kan beres.")

  17. Proses Memilih Perwajahan Dalam dengan Layout Editor

  18. GPU Menyerahkan Proof Naskah untuk Diperiksa

  19. Revisi

  20. Naik Cetak
  21. Tanpa disadari, sudah setahun berlalu semenjak menawarkan naskah. Saat pertama kali bertemu Pak Dwi, saya sedang cuti bulan madu (kapan lagi bulan madu ke penerbit?). Saat pemberitahuan buku akan dicetak, tepat pada hari anak saya, Riordan Azad Zen, lahir.
Oke, itu pengalaman saya pribadi. Jadi dalam kasus berbeda, misalnya menerbitkan fiksi, akan ada langkah yang berbeda pula. Tapi intinya selalu sama: penerbitan buku adalah suatu kerjasama. Semoga bisa menginspirasi Anda untuk berkarya.

Pendekatan untuk Penilikan Naskah

Berhubung sejumlah pertanyaan sama kerap bermunculan berkaitan penerbitan, saya mendirikan pojok ini agar dapat memberikan gambaran akan jawabannya. Jangan sekadar terima begitu saja, karena penerbitan karya adalah suatu pengalaman yang bisa berbeda-beda bagi setiap orang.

Tanya (T): Aku pernah ngirim naskah ke [nama penerbit], tapi belum ada konfirmasi juga. Saya baru telepon lagi namun disuruh menunggu. Memang berapa lama prosesnya,ya? Apa sampe empat bulanan?

Jawab (J): Rata-rata, penilikan naskah itu memang tiga bulanan. Tergantung dari kesigapan tim redaksi dan jumlah naskah yang masuk, waktu penilikan ini bisa lebih singkat (ada yang hanya dua minggu) atau memanjang (ada yang sampai lima bulan baru konfirmasi).

Kuncinya di sini: proaktif. Saya selalu menekankan pada para penulis yang ingin mulai menerbitkan buku, agar saat menyampaikan naskah itu berkenalan dulu dengan salah satu editor dari redaksi bersangkutan. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan kontak yang jelas (ada nama jelas dan wajah yang kita ingat, bukan sekadar nama generik seperti Editor Fiksi).

Dengan begitu, kamu bisa selanjutnya menghubungi orang tersebut untuk mengonfirmasi status naskah setelah, sebagai contoh saja, dua minggu.


T: Aku sering menanyakan tapi selalu diminta menunggu. Bagaimana nih?

J: Setiap kali menanyakan status konfirmasi, jangan sekadar mencari jawaban "Sudah" atau "Belum" saja. Lebih penting adalah mengetahui prosesnya. Jika dikatakan belum selesai, tanyakan saja dengan sopan, perkembangannya sampai mana. Dan kalau boleh tahu, prosedur penilikannya seperti apa, agar kamu memiliki gambaran sudah sejauh mana prosesnya.

Penerbit yang kredibel akan memberitahu secara jujur dan tidak akan mencari-cari alasan.

Contoh jawaban kredibel:
  1. "Oh, proses penilikan naskah di sini perlu disetujui minimal dua editor dulu. Sejauh ini baru satu editor yang menilai ada potensi. Jadi, kalaupun ada kesepakatan, mungkin perlu revisi besar-besaran. Gimana?"

  2. "Maaf, banyak naskah yang ngantre nih. Dalam dua minggu terakhir ada sekitar 200-an yang masuk. Jadi naskah Mas belum sempet kami baca."

Contoh yang meragukan:
  1. "Ya, sama lah kayak penerbit-penerbit lain. Masa gitu aja nggak tahu?"

  2. "Naskah kamu lagi dibicarain, kok. Tunggu, lah. Sekitar dua minggu lagi pasti ada kepastian." (Catatan: kalau dua minggu lagi ngomongnya masih sama, akan semakin meragukan)

Contoh yang sangat meragukan:
  1. "Bentar. (terdengar suara teriakan di latar belakang) Wooooi! Ada yang tahu kabar naskah [nama kamu] nggak? Hah? Lu pake buat ke belakang!?"

T: Tapi tiga bulan itu kelamaan. Boleh nggak, aku kirim naskahku ke beberapa penerbit sekaligus. Kan menghemat waktu, tuh?

J: Saya sarankan tidak. Karena mengirimkan naskah yang sama ke beberapa penerbit sekaligus itu tidak etis. Bagaimana jika satu penerbit menghubungi kamu karena tertarik, tapi jawaban kamu adalah, "Wah, maaf, saya sudah menerima tawaran dari penerbit lain." Berarti editor/redaksi penerbit yang menghubungi kamu itu sudah membuang-buang waktunya untuk menilik naskah kamu. Ini pun tidak adil bagi para penulis lain yang naskahnya diantrekan setelah kamu.

Lebih baik, tentukan beberapa penerbit yang kira-kira sesuai dengan tujuan/idealisme kamu. Terus urutkan prioritasnya. Kirimkan naskah dan konfirmasikan status penilikannya secara rutin. Tariklah naskah kamu jika merasa tidak ada perkembangan pasti menuju suatu kerja sama. Dan tawarkan ke penerbit berikutnya.

Akan lebih baik lagi jika di antara menunggu konfirmasi itu, kamu sudah mulai menulis draf untuk buku berikutnya.


T: Kalau saya punya lebih dari satu naskah, gimana? Apa lebih baik ditawarkan ke penerbit sama sekaligus?

J: Kalau Anda sudah pernah bekerja sama dengan penerbit itu dan merasa cocok, silakan. Namun, jika belum, lebih baik tidak. Karena nama kamu belum dikenal di penerbit tersebut, kemungkinan naskah kamu akan tetap diantrekan. Sehingga waktu penantiannya bisa lama. Belum nanti bisa bingung untuk menanyakan status masing-masing naskah.

"Naskah yang mana?" tanya sang editor.

"Yang settingnya kerajaan, tentang cinta bertepuk sebelah tangan antara pangeran dan kodok."

"Yang kodoknya ternyata laki-laki, ya?"

"Bukan, yang kodoknya lebih suka sama angsa."

"Saya jadi pusing, nih dengernya."

"Bukan, dialog itu sih di naskah satu lagi, yang tentang kuda sama putri."

"Nggak, saya benar-benar pusing nih."

"Nah, betul. Yang ada dialog itu. Yang--lho. Halo? Halo?"

Saran saya: tawarkan saja masing-masing naskah ke penerbit berbeda.

Oleh-oleh dari Sekolah Tinggi Buddhi

Dalam acara lokakarya penulisan Flash Fiction pada tanggal 20 Juni 2006, muncul sesuatu yang menarik. Saya menunjukkan contoh flash fiction Hemingway, yang hanya terdiri dari dua kalimat:
Dijual: sepatu bayi bekas. Belum pernah dipakai.
Saya kemudian menanyakan kepada para peserta, kira-kira apa cerita
yang tersembunyi di balik dua kalimat ini.

Sekumpulan siswa-siswi SMP menjawab, "Mungkin bosan dengan sepatunya. Makanya dijual."

Seorang bapak berpendapat, "Suaminya mandul."

Seorang ibu, yang kebetulan juga salah satu editor GPU, berkata, "Sang istri keguguran."

Pada saat itu, saya kembali mendapatkan pencerahan: bahwa memang karya tulisan itu dimaknai berbeda oleh para pembaca yang berlatar belakang berbeda.

Siswa-siswi SMP mungkin lebih sering bergelut dengan kebosanan. Sang bapak mungkin memiliki beberapa teman pria yang takut akan kemandulan. Sang ibu mungkin lebih akrab dengan kesedihan para perempuan yang keguguran. Semua ini memengaruhi cara mereka membaca dan mengapresiasi tulisan kita.

Karena itu, jika kita ingin mengarah satu golongan pembaca tertentu, kita perlu menyelami latar belakang mereka. Dan sebaliknya, kita perlu mengerti, bahwa jika kita tidak mengarah satu golongan pembaca secara spesifik, terimalah bahwa karya kita akan diterima sebagai makna yang berbeda-beda. Bisa jadi bukan seperti yang kita inginkan.

EYD? Jangan Sembarangan Mengacu Media

Presiden Amerika Serikat George W. Bush bersumpah akan menghentikan pemimpin Korea Utara Kim Jong Il dari ancaman perdamaian Asia.1


Tajuk berita pun bisa jadi malah mengajarkan ambiguitas.

___________
1: Salah satu teks berjalan MetroTV tanggal 18 Oktober 2006, jam 15:10 WIB.

Apakah Lebih Sedikit Berarti Lebih Banyak?

Pascal, sang filsuf Perancis, pernah menulis: Saya haturkan maaf karena surat ini begitu panjang; [seandainya] saya memiliki waktu lebih lama, [surat ini] akan lebih pendek.

Itu juga yang disampaikan Stephen King dalam "On Writing". Ia memberi kisaran umum bahwa setelah proses penyuntingan, naskah kita seharusnya berkurang sekitar 10%. Ia malah mengimplikasikan bahwa jika tidak, berarti penyuntingan kita buruk.

Benarkah begitu? Setidaknya dunia penerbitan Indonesia belum mengadopsi paham ini. Penyuntingan masih diarahkan kepada konsistensi karakterisasi, situasi, semantik, dan sintaks. Asalkan sesuai, silakan saja mengumbar kata.

Dunia periklanan Indonesia malah terbalik. Slogan yang sering dikumandangkan adalah "Less is more! (More chances to play the ad three times, that is. And to hell with grammars)."

Dunia sinetron? Jawabannya bisa saya rangkum dalam dua kata: Sinetron Hidayah. Kalau memang bagi mereka less is more, sinetron hidayah akan berdurasi hanya sekitar tiga detik. Mereka cukup menayangkan judul, misalnya, "Istri Doyan Chatting Kena Azab." Dan sudah, tamat. Karena semua inti cerita terangkum di situ.

Bagaimana dengan kehidupan sehari-hari? Apakah kita lebih suka mendengar orang yang berbicara panjang lebar sebelum ke inti masalah? Atau orang yang langsung ke inti masalah?

Jawabannya: tergantung bagaimana ia berbicara. Kalau menarik, kita mau-mau saja. Kalau tidak? Selagi seseorang semangat berbicara, bisa jadi yang kita pikirkan adalah, "Lubang hidungnya gede juga, ya?"

Penulisan kreatif pun sama, khususnya masalah penyuntingan. Karena itu, menurut saya, pedoman dari Stephen King perlu dilengkapi:
  1. Bikinlah tulisan menjadi lebih singkat, atau
  2. Bikin jadi lebih menarik
Misalkan, kita ingin menyampaikan dialog superpanjang antara dua tokoh. Tanyakan tiga hal berikut:
  • Kalau dipotong, pengaruh ke cerita nggak?
  • Kalau tidak dipotong, menarik bagi pembaca nggak?
  • Selain dari "sayang kalau dipotong", apakah ada alasan lain kenapa bagian ini harus dipertahankan?
Kalau jawaban untuk ketiganya adalah "tidak", potonglah. Hargai pembaca kita.

Namun itu pendapat saya. Silakan saja berbeda.