Kamis, 02 April 2009

Kreatif Beraturan? Itu Bukannya Kontradiksi? (Tip Penulisan Dialog)

Aturan umumnya memiliki dua fungsi: sebagai pengekang maupun sebagai konvensi. Dalam banyak hal, kedua fungsi ini terkait persepsi. Tergantung seseorang menyikapinya. Jika menganggap aturan sebagai sekedar kekangan, maka akan terkekanglah ia. Memang, ada beberapa aturan yang mau berpikir sepositif apapun tetap saja mengekang.

Aturan Nazi, contohnya, (Jika kamu bukan ras Arya, maka kamu inferior).

Namun, ada aturan lain yang bersifat sebagai pedoman menuju sistematis. Dan ini bermaksud baik. Misalnya, EYD berkaitan tanda baca. Aturan ini bermaksud membuat konvensi, sesuatu yang digunakan agar interpretasi pembaca sesuai dengan maksud penulis.

Saat membaca karya pop akhir-akhir ini, saya melihat banyak penulis yang melalaikan aturan tanda baca. Terutama berkaitan dialog. Dan ini cukup membingungkan karena, sebagai contoh, saya tidak bisa membedakan seorang karakter yang berteriak, "Kemarikan guci itu!!!!!!!!" dengan karakter lain yang membalas "TIDAK!!!" Apalagi saat karakter pertama membalas, "KENAPA tidak??!!!?!!"

Saya bingung karena tiga alasan:
  1. Bagaimana membedakan teriakan dengan tiga tanda seru (apakah seperti lolongan serigala?) dengan delapan tanda seru (lolongan Celine Dion?)
  2. Mana yang lebih keras; tiga tanda seru dengan huruf BESAR atau delapan tanda seru dengan huruf kecil?
  3. Guci seperti apa yang bisa mendorong orang untuk memperebutkannya dengan gaya sinetron?
Dengan maksud berbagi dan berdiskusi (siapa tahu Anda ingin memberi masukan seperti "Menurutku lebih ke arah lolongan Celine Dion digigit serigala, Man"), saya menyampaikan beberapa poin penulisan dialog yang saya tahu di bawah ini.


Lima Poin Penulisan Dialog

1) Koma, titik, tanda seru, atau tanda baca berada dalam kurungan tanda kutip ("), bukan di luarnya.

Contoh benar:
"Kira-kira seperti ini," ujar si Raru.
Contoh salah:
"Bukan seperti ini toh.", si Siuk menggaruk-garuk kepala.

2) Jika sudah ada titik, koma, tanda seru, atau tanda baca dalam tanda kutip, jangan diberi tanda koma lagi.

Contoh benar:
"Seperti ini?" tanya si penyunting.
Contoh salah:
"Ngaco, yang bener itu yang ini!", ujar si pencinta koma.

3) Penulisan dialog terpisah yang dua-duanya menggunakan tanda koma hanya boleh jika dialog tersebut adalah kalimat tunggal.

Contoh benar:
"Siapa," si Matupang menoleh, "itu?"
Benar karena "Siapa itu?" adalah kalimat tunggal.

Catatan: dengan sendirinya, "itu" ditulis dengan huruf kecil, karena merupakan bagian kalimat.

Contoh salah:
"Siapa," lirik si Sikananjalan, "Bukan aku, kok!"
Salah karena kalimat aslinya adalah "Siapa? Bukan aku, kok!"


4) Untuk penggunaan tanda kutip yang tidak menyangkut dialog, tanda baca diletakkan setelah tanda kutip.

Contoh:
Di halaman depan tertera "Makalah Tanpa Judul".

5) Tidak boleh ada dua karakter berbicara pada paragraf yang sama. Jika A sudah selesai bicara dan diganti dengan B, maka harus menggunakan alinea baru.

Ini adalah konvensi yang berfungsi untuk menjelaskan siapa yang bicara. Jadi dalam beberapa kasus, walaupun penulis tidak memberikan deskripsi, bisa ketahuan.

Contoh:
Toni melempar penghapus pada Felix. Dengan lentur, penghapus karet tersebut membal dari jidat temannya.

"Apaan, sih!" bentak Felix.

"Nggak apa-apa. Kita lagi perlu contoh dialog."

"Pake cara lebih sopan dikit, nape!"

Toni terdiam. Ia mengambil penghapus karet yang terpental balik ke dekat kakinya. "Permisi," ujarnya, sebelum melontarkan penghapus yang sama pada jidat Felix.

Pedoman penulisan EYD lain bisa disimak di blog Polisi EYD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar