Selasa, 14 April 2009

Terburuk Sedunia #2

Dalam buku Dari Soekarno Sampai SBY, Megawati diceritakan pernah berusaha menghibur partainya dengan berkata, "Kita bukan kalah, tapi kurang suara!"

Menarik sekali. Mari kita jadikan ini sebagai permainan kepenulisan terburuk sedunia!

Tulislah ujaran, ucapan, komentar, atau hiburan terburuk di seluruh dunia (lengkap dengan situasinya):
  1. Seorang kritikus kuliner: "Makanan ini tidak hambar, hanya tak berasa!"

  2. Seorang tetangga pada anak yang menangis tersedu-sedu, "Ayahmu bukannya meninggal, melainkan tak bernyawa."

  3. "Kamu nggak gemuk kok," ujar seorang pria pada istrinya. "Cuman nggak bisa menemukan pakaian yang muat aja," dia lantas pura-pura batuk sambil menambahkan perlahan, "di seluruh dunia."

  4. "Kalian tidak buta aksara!" seru sang guru pada seluruh kelas, "Hanya tak bisa membaca!"

  5. "Kau nggak bodoh," usap sang Kakak pada kepala adiknya. "Hanya tak berakal sehat."

  6. Si teknisi mengernyitkan kening, "Laptopmu nggak rusak kok, cuman nggak akan bisa dipakai lagi sebelum diperbaiki."

  7. "Kau bukannya nggak ada jodoh," hibur seorang teman. "Cuman belum laku aja. Selama 40 tahun."
Silakan mulai! Anda bukannya tak berminat kok, hanya enggan mencoba.

Kamis, 02 April 2009

Tiga Poin Penulisan Fiksi yang Dilihat Editor

Hetih Rusli, editor fiksi GPU, berbagi seperti apa "Naskah Novel yang Saya Sukai" dalam blog Virus Baca.

Dia mengemukakan tiga poin penting:
  1. Penokohan
    Tokoh harus benar-benar hidup, bukan hanya tertuang di atas kertas. Dan--ini bagian yang saya suka--"tolong deh, nggak perlu menyebutkan semua karakteristik tokoh lengkap dengan sifat-sifatnya pada halaman 2, paragraf pertama sehabis si tokoh datang terlambat ke sekolah."


  2. Alur cerita
    Alur cerita harus memiliki tujuan. Bukan karena ingin pamer pengetahuan atau alasan yang lebih kacau: "Because I like it."


  3. Tema cerita
    Dia juga menyampaikan apa yang sering saya dan Donna sampaikan dalam lokakarya menulis: jadilah otentik, bukan orisinal.

Proses Menerbitkan BaM

Dalam merintis kerjasama penerbitan buku pertama saya, Bertanya atau Mati (BaM), dengan Gramedia Pustaka Utama (GPU), saya melakukan langkah-langkah berikut:
  1. Bikin Preliminaries Naskah, yaitu:
    • Judul
    • Daftar Isi
    • Ucapan terima kasih
    • Prakata
    • Bab I naskah
    • Daftar pustaka
    • Perihal Penulis
    • (tambahan) Latar belakang dan trend pasar buku humor
    • (tambahan) Perkiraan target pembaca yang akan tertarik membeli buku ini
    • (tambahan) Ajuan strategi pemasaran untuk buku ini

  2. Cetak semua dan masukkan folder.
  3. Saya tidak mencetak semua naskah. Penerbit dapat menentukan tertarik atau tidak dari preliminaries saja. Karena itu, ada saja penulis (biasanya yang sudah langganan bestseller) yang bukunya belum beres pun sudah bisa menjalin kerjasama.

  4. Menghubungi Penerbit (dalam Kasus Ini GPU Bagian Nonfiksi)
  5. Saya memberitahu bahwa saya memiliki naskah untuk kerjasama penerbitan buku. Mengapa saya bilang "kerjasama"? Karena memang penulis dan penerbit adalah rekanan. Tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Keduanya saling membutuhkan. Dan untuk kerjasama tentunya membutuhkan kecocokan dari kedua pihak, bukan hanya dari satu sisi.

    Saat itu saya diminta untuk mengirim naskahnya.

    Saya meminta untuk bertemu muka. BaM adalah suatu konsep yang tidak umum di Indonesia. Saat saya mendiskusikan ide buku ini dengan seorang teman saja pernah terjadi dialog seperti berikut:
    Teman: "Jadi buku kamu nanti tentang apa?"
    Saya: "Kumpulan esai humor."
    Teman: "Oh. Seperti apa, tuh?"
    Saya: "Seperti buku Seinfeld, Dave Barry, Bill Cosby--"
    Teman: "Bill Cosby nulis buku?"
    Saya: "Euh, ya."
    Teman: "Buku kaya apa?"
    Saya: "Ah, kumpulan esai humor."
    Teman: "Seperti apa, tuh?"
    Karena itu, walaupun telah menyusun profil pemasaran buku, saya merasa perlu untuk menjelaskan buku tersebut secara empat mata.

  6. Bertemu dan Berdiskusi dengan Editor.
  7. Saya berkenalan dengan Pak Dwi, salah satu editor nonfiksi. Setelah diskusi yang hangat (karena AC-nya kebetulan sedang mati), kami meraih semacam pengertian bersama (belum persetujuan, karena preliminaries-nya masih perlu ditilik).

  8. Ajuan Kerjasama Saya Disambut Baik oleh GPU
  9. Sudah lebih dari satu bulan lewat, karena perlu ada riset langsung oleh marketer GPU ke toko-toko mengenai potensi pasar buku seperti ini. Saat diberitahu mengenai hal ini, yang terbayang di benak saya adalah;
    Marketer: "Bang, kalau ada buku judulnya 'Bertanya atau Mati', mau beli kagak?"
    Pemilik Toko: "Politik?"
    Marketer: "Humor."
    Pemilik Toko: "Hahahaha becanda, lu!"
    Marketer: "(nelepon GPU) Kayanya bakal laris, nih."
  10. Penandatangan Perjanjian Kerjasama
  11. Yang terutama saya perhatikan dalam surat perjanjian tersebut adalah:

    • Poin bahwa Hak Cipta karya tetap di tangan pengarang. Penerbit hanya memiliki hak untuk menerbitkan dan menjual karya tersebut.

    • Jumlah cetakan awal

    • Jumlah royalti untuk pengarang

    • Metode pembayaran royalti dari penerbit kepada pengarang

    • Batas waktu hak penerbitan oleh mitra saya

    • Klausul bahwa hak penerbitan dapat dialihkan pada pihak lain jika pengarang merasa bahwa karyanya kurang diperhatikan rekan penerbit
  12. Saya Menyerahkan Naskah (Softcopy dan Hardcopy) ke GPU

  13. Proses Penyuntingan Naskah bersama Editor
  14. Di sini saya bekerja sama dengan Rina, yang banyak memberi masukan sehingga bahasa dalam BaM terasa lebih alami.

  15. Saya Memilih Untuk Mengusahakan Desain Sampul Sendiri
  16. Sebenarnya bisa saja urusan cover diserahkan pada penerbit. Tapi saya pilih meminta bantuan teman saya, Poetoe, untuk mendesain. Alasan utama adalah karena komunikasi lebih enak. ("Yang bener aja, Poet! Masa muka gua terlihat ganteng di sini?" "Ya udah, aku jadiin gigi kamu ompong, kan beres.")

  17. Proses Memilih Perwajahan Dalam dengan Layout Editor

  18. GPU Menyerahkan Proof Naskah untuk Diperiksa

  19. Revisi

  20. Naik Cetak
  21. Tanpa disadari, sudah setahun berlalu semenjak menawarkan naskah. Saat pertama kali bertemu Pak Dwi, saya sedang cuti bulan madu (kapan lagi bulan madu ke penerbit?). Saat pemberitahuan buku akan dicetak, tepat pada hari anak saya, Riordan Azad Zen, lahir.
Oke, itu pengalaman saya pribadi. Jadi dalam kasus berbeda, misalnya menerbitkan fiksi, akan ada langkah yang berbeda pula. Tapi intinya selalu sama: penerbitan buku adalah suatu kerjasama. Semoga bisa menginspirasi Anda untuk berkarya.

Pendekatan untuk Penilikan Naskah

Berhubung sejumlah pertanyaan sama kerap bermunculan berkaitan penerbitan, saya mendirikan pojok ini agar dapat memberikan gambaran akan jawabannya. Jangan sekadar terima begitu saja, karena penerbitan karya adalah suatu pengalaman yang bisa berbeda-beda bagi setiap orang.

Tanya (T): Aku pernah ngirim naskah ke [nama penerbit], tapi belum ada konfirmasi juga. Saya baru telepon lagi namun disuruh menunggu. Memang berapa lama prosesnya,ya? Apa sampe empat bulanan?

Jawab (J): Rata-rata, penilikan naskah itu memang tiga bulanan. Tergantung dari kesigapan tim redaksi dan jumlah naskah yang masuk, waktu penilikan ini bisa lebih singkat (ada yang hanya dua minggu) atau memanjang (ada yang sampai lima bulan baru konfirmasi).

Kuncinya di sini: proaktif. Saya selalu menekankan pada para penulis yang ingin mulai menerbitkan buku, agar saat menyampaikan naskah itu berkenalan dulu dengan salah satu editor dari redaksi bersangkutan. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan kontak yang jelas (ada nama jelas dan wajah yang kita ingat, bukan sekadar nama generik seperti Editor Fiksi).

Dengan begitu, kamu bisa selanjutnya menghubungi orang tersebut untuk mengonfirmasi status naskah setelah, sebagai contoh saja, dua minggu.


T: Aku sering menanyakan tapi selalu diminta menunggu. Bagaimana nih?

J: Setiap kali menanyakan status konfirmasi, jangan sekadar mencari jawaban "Sudah" atau "Belum" saja. Lebih penting adalah mengetahui prosesnya. Jika dikatakan belum selesai, tanyakan saja dengan sopan, perkembangannya sampai mana. Dan kalau boleh tahu, prosedur penilikannya seperti apa, agar kamu memiliki gambaran sudah sejauh mana prosesnya.

Penerbit yang kredibel akan memberitahu secara jujur dan tidak akan mencari-cari alasan.

Contoh jawaban kredibel:
  1. "Oh, proses penilikan naskah di sini perlu disetujui minimal dua editor dulu. Sejauh ini baru satu editor yang menilai ada potensi. Jadi, kalaupun ada kesepakatan, mungkin perlu revisi besar-besaran. Gimana?"

  2. "Maaf, banyak naskah yang ngantre nih. Dalam dua minggu terakhir ada sekitar 200-an yang masuk. Jadi naskah Mas belum sempet kami baca."

Contoh yang meragukan:
  1. "Ya, sama lah kayak penerbit-penerbit lain. Masa gitu aja nggak tahu?"

  2. "Naskah kamu lagi dibicarain, kok. Tunggu, lah. Sekitar dua minggu lagi pasti ada kepastian." (Catatan: kalau dua minggu lagi ngomongnya masih sama, akan semakin meragukan)

Contoh yang sangat meragukan:
  1. "Bentar. (terdengar suara teriakan di latar belakang) Wooooi! Ada yang tahu kabar naskah [nama kamu] nggak? Hah? Lu pake buat ke belakang!?"

T: Tapi tiga bulan itu kelamaan. Boleh nggak, aku kirim naskahku ke beberapa penerbit sekaligus. Kan menghemat waktu, tuh?

J: Saya sarankan tidak. Karena mengirimkan naskah yang sama ke beberapa penerbit sekaligus itu tidak etis. Bagaimana jika satu penerbit menghubungi kamu karena tertarik, tapi jawaban kamu adalah, "Wah, maaf, saya sudah menerima tawaran dari penerbit lain." Berarti editor/redaksi penerbit yang menghubungi kamu itu sudah membuang-buang waktunya untuk menilik naskah kamu. Ini pun tidak adil bagi para penulis lain yang naskahnya diantrekan setelah kamu.

Lebih baik, tentukan beberapa penerbit yang kira-kira sesuai dengan tujuan/idealisme kamu. Terus urutkan prioritasnya. Kirimkan naskah dan konfirmasikan status penilikannya secara rutin. Tariklah naskah kamu jika merasa tidak ada perkembangan pasti menuju suatu kerja sama. Dan tawarkan ke penerbit berikutnya.

Akan lebih baik lagi jika di antara menunggu konfirmasi itu, kamu sudah mulai menulis draf untuk buku berikutnya.


T: Kalau saya punya lebih dari satu naskah, gimana? Apa lebih baik ditawarkan ke penerbit sama sekaligus?

J: Kalau Anda sudah pernah bekerja sama dengan penerbit itu dan merasa cocok, silakan. Namun, jika belum, lebih baik tidak. Karena nama kamu belum dikenal di penerbit tersebut, kemungkinan naskah kamu akan tetap diantrekan. Sehingga waktu penantiannya bisa lama. Belum nanti bisa bingung untuk menanyakan status masing-masing naskah.

"Naskah yang mana?" tanya sang editor.

"Yang settingnya kerajaan, tentang cinta bertepuk sebelah tangan antara pangeran dan kodok."

"Yang kodoknya ternyata laki-laki, ya?"

"Bukan, yang kodoknya lebih suka sama angsa."

"Saya jadi pusing, nih dengernya."

"Bukan, dialog itu sih di naskah satu lagi, yang tentang kuda sama putri."

"Nggak, saya benar-benar pusing nih."

"Nah, betul. Yang ada dialog itu. Yang--lho. Halo? Halo?"

Saran saya: tawarkan saja masing-masing naskah ke penerbit berbeda.

Oleh-oleh dari Sekolah Tinggi Buddhi

Dalam acara lokakarya penulisan Flash Fiction pada tanggal 20 Juni 2006, muncul sesuatu yang menarik. Saya menunjukkan contoh flash fiction Hemingway, yang hanya terdiri dari dua kalimat:
Dijual: sepatu bayi bekas. Belum pernah dipakai.
Saya kemudian menanyakan kepada para peserta, kira-kira apa cerita
yang tersembunyi di balik dua kalimat ini.

Sekumpulan siswa-siswi SMP menjawab, "Mungkin bosan dengan sepatunya. Makanya dijual."

Seorang bapak berpendapat, "Suaminya mandul."

Seorang ibu, yang kebetulan juga salah satu editor GPU, berkata, "Sang istri keguguran."

Pada saat itu, saya kembali mendapatkan pencerahan: bahwa memang karya tulisan itu dimaknai berbeda oleh para pembaca yang berlatar belakang berbeda.

Siswa-siswi SMP mungkin lebih sering bergelut dengan kebosanan. Sang bapak mungkin memiliki beberapa teman pria yang takut akan kemandulan. Sang ibu mungkin lebih akrab dengan kesedihan para perempuan yang keguguran. Semua ini memengaruhi cara mereka membaca dan mengapresiasi tulisan kita.

Karena itu, jika kita ingin mengarah satu golongan pembaca tertentu, kita perlu menyelami latar belakang mereka. Dan sebaliknya, kita perlu mengerti, bahwa jika kita tidak mengarah satu golongan pembaca secara spesifik, terimalah bahwa karya kita akan diterima sebagai makna yang berbeda-beda. Bisa jadi bukan seperti yang kita inginkan.

EYD? Jangan Sembarangan Mengacu Media

Presiden Amerika Serikat George W. Bush bersumpah akan menghentikan pemimpin Korea Utara Kim Jong Il dari ancaman perdamaian Asia.1


Tajuk berita pun bisa jadi malah mengajarkan ambiguitas.

___________
1: Salah satu teks berjalan MetroTV tanggal 18 Oktober 2006, jam 15:10 WIB.

Apakah Lebih Sedikit Berarti Lebih Banyak?

Pascal, sang filsuf Perancis, pernah menulis: Saya haturkan maaf karena surat ini begitu panjang; [seandainya] saya memiliki waktu lebih lama, [surat ini] akan lebih pendek.

Itu juga yang disampaikan Stephen King dalam "On Writing". Ia memberi kisaran umum bahwa setelah proses penyuntingan, naskah kita seharusnya berkurang sekitar 10%. Ia malah mengimplikasikan bahwa jika tidak, berarti penyuntingan kita buruk.

Benarkah begitu? Setidaknya dunia penerbitan Indonesia belum mengadopsi paham ini. Penyuntingan masih diarahkan kepada konsistensi karakterisasi, situasi, semantik, dan sintaks. Asalkan sesuai, silakan saja mengumbar kata.

Dunia periklanan Indonesia malah terbalik. Slogan yang sering dikumandangkan adalah "Less is more! (More chances to play the ad three times, that is. And to hell with grammars)."

Dunia sinetron? Jawabannya bisa saya rangkum dalam dua kata: Sinetron Hidayah. Kalau memang bagi mereka less is more, sinetron hidayah akan berdurasi hanya sekitar tiga detik. Mereka cukup menayangkan judul, misalnya, "Istri Doyan Chatting Kena Azab." Dan sudah, tamat. Karena semua inti cerita terangkum di situ.

Bagaimana dengan kehidupan sehari-hari? Apakah kita lebih suka mendengar orang yang berbicara panjang lebar sebelum ke inti masalah? Atau orang yang langsung ke inti masalah?

Jawabannya: tergantung bagaimana ia berbicara. Kalau menarik, kita mau-mau saja. Kalau tidak? Selagi seseorang semangat berbicara, bisa jadi yang kita pikirkan adalah, "Lubang hidungnya gede juga, ya?"

Penulisan kreatif pun sama, khususnya masalah penyuntingan. Karena itu, menurut saya, pedoman dari Stephen King perlu dilengkapi:
  1. Bikinlah tulisan menjadi lebih singkat, atau
  2. Bikin jadi lebih menarik
Misalkan, kita ingin menyampaikan dialog superpanjang antara dua tokoh. Tanyakan tiga hal berikut:
  • Kalau dipotong, pengaruh ke cerita nggak?
  • Kalau tidak dipotong, menarik bagi pembaca nggak?
  • Selain dari "sayang kalau dipotong", apakah ada alasan lain kenapa bagian ini harus dipertahankan?
Kalau jawaban untuk ketiganya adalah "tidak", potonglah. Hargai pembaca kita.

Namun itu pendapat saya. Silakan saja berbeda.

Kata Terjahat dalam Dunia Kreativitas...

...adalah "garing". Variasinya antara lain: jayus, basi, kuno, kampungan, pasaran.

"Garing" adalah kata yang digunakan seseorang, saat malas berpikir, untuk merendahkan gagasan (lelucon, puisi, maupun cerita pun gagasan) orang lain dan meninggikan diri sendiri (karena dengan menghujat "garing", sekaligus mengklaim bahwa sang penghujat tidak garing). Alih-alih menjelaskan kenapa suatu ide tidak bekerja/lucu/autentik, kita menggunakan "garing".

Salah dua penyebab garing menjadi pilihan populer adalah waktu dan kebiasaan. Banyak orang Indonesia yang tidak siap jika diminta opini dadakan. Alhasil, yang keluar adalah opini satu kata. "Gimana acaranya?" "Keren!" "Si A gimana orangnya?" "Asik!"

Wajar saja kalau ada yang berusaha melucu dan gagal, komentar orang-orang seperti ini adalah, "Garing!" Biasa satu kata. Seperti kata pepatah, "Alah bisa[nya cuman gitu] karena biasa."

Waktu juga masalah pelik. Saat seseorang berusaha mengejek pria kurus, misalnya, dengan lelucon yang sudah diceritakan beribu-ribu kali, "Badan lu kok kayak papan cucian, sih?" Jawaban harus disampaikan sebelum lima detik. Kalau tidak, percuma. Berhubung tidak biasa, balik lagi ke "Basi!" atau "Garing ah, kreatif dikit kalau ngejek, dong."

Karena itu, sebaiknya kita membuat perjanjian baru. Dalam situasi seperti di atas, daripada menggunakan garing dan kawan-kawan, lebih baik kita bit dulu dan bertukaran nomor telepon. Nanti, saat kita sudah siap, tinggal hubungi nomor tersebut.

"Halo, bisa bicara dengan Johan?"

"Saya sendiri."

"Oke, sebentar." Terdengar suara lipatan kertas dibuka. "Kalau kau pergi ke hutan dan menebang pohon--bukan, bukan ini." Suara tangan menyibak kertas. "Nyonya, Anda terlihat cantik, tapi saya sedang mabuk--halah, bukan juga."

"Mau ngapain sih?"

"Lu kemaren menghina rambut gua?"

"Bukan. Tubuh lu yang kurus."

"Oh, salah kotret kalau gitu. Bisa gua telepon lagi nanti?"

"Silakan."

Kembali pada pembicaraan yang serius, penggunaan kata garing bertanggung jawab atas:

a) Menghalangi kita untuk berpikir dan menemukan jawaban yang lebih cerdas
Orang dalam budaya berbahasa Inggris, secara umum lebih lancar dalam menyusun dan mengucapkan opini. Ambillah contoh seperti para penyanyi rap dan atlet basketball. Mereka sering digeneralisir maupun direndahkan kemampuan intelijensinya. Namun, saat diwawancara, ucapan mereka terunut logis dan jelas. Dari ngalor ngidul sampai saling cerca (thrash talk) lancar.

Menurut saya, ini disebabkan bahasa Inggris tidak mengenal satu kata seperti "garing" yang menjadi guilotin sakti bagi lawan bicara. Kalau ucapan orang lain ngaco, kita perlu mendebat balik. Mengejek balik juga oke asalkan poin dan logikanya jelas. Dengan kata lain, semua orang dituntut untuk berpikir. Sementara dalam budaya berbahasa Indonesia, tidak usah. Cukup katakan, "Garing lu!" Beres.


b) Menghentikan proses diskusi lebih lanjut yang bisa mematangkan ide
Pernahkah Anda menyampaikan satu ide dengan berapi-api? Anda merasa yakin bahwa jika ide ini dilaksanakan seperti bayangan Anda, hasilnya pasti sukses besar. Namun, rekan Anda hanya mengerutkan kening dan berkomentar, "Garing ah. Jangan deh."

Apakah tiba-tiba Anda jadi mendapatkan pencerahan? "Oh astaga! Benar juga. Untung kamu ngomong gitu. Jadi saya tiba-tiba mendapat inspirasi baru. Kita sebaiknya melakukannya begini." Anda pun mengotret ide baru tersebut.

"Nah! Itu baru keren!" sambutnya. Dan kalian pun berjingkrak-jingkrak gembira.

Dalam dongeng saja tidak pernah terjadi.

Kenyataannya, begitu seseorang dalam kelompok memvonis garing, matilah semua energi positif. Keran-keran ide mampet. Tiap orang jadi makin takut untuk mengeluarkan pendapat. "Nanti dibilang garing lagi di depan umum. Malu dong."

Kalau Anda ingin membuat tim kreatif dalam perusahaan, coret kata garing dalam kamus bersama. Bikin SOP kalau perlu: jika ingin mengkritik ide (termasuk lelucon), harus ada alasan dan umpan balik. Kenapa ide itu buruk? Bagaimana agar bisa lebih baik? Dan barangsiapa yang mengucapkan garing harus mentraktir makan siang seluruh anggota tim. Dalam satu sesi saja, bisa jadi jatah sebulan makan siang gratis sudah tersedia.

Kunci utama: lawanlah efek sosial garing. Jika ada orang digaringi di depan publik, jangan diam saja. Dan jika Anda yang digaringi, lawan! Minta kejelasan. Minta contoh nyata kalau si penggaring (orang yang berteriak garing) itu bukan maling teriak maling. Kalau mereka masih ngotot juga, ya sudahlah.

Mereka garing sih. (Lho?)

Penguasaan Tempo

Salah satu kunci untuk mempelajari penulisan berbagai genre adalah penguasaan tempo (timing). Genre misteri, misalnya, akan berantakan jika belum juga ketegangan berjalin, pelakunya sudah ketahuan. Bisa jadi malah salah genre.
"Nyonya Tini tewas?" seru Farhan panik. Matanya membelalak. “Siapa yang membunuhnya?”

Menghadapi reaksi temannya, Budi hanya menggaruk-garuk kepala, "Bukannya kamu?"

Farhan tertegun. "Oh, iya, ya," ujarnya sambil menepukkan kepalan ke telapak tangan.
Drama komedi juga sangat mengandalkan kepada pewaktuan. Dalam buku skenario "Arisan", Nia diNATA menjelaskan bahwa ia selalu menaruh adegan menggelitik di saat emosi memuncak. Karena ia tidak ingin adegan menjadi terlalu larut pada kesedihan, yang justru malah kental digunakan dalam sinetron.

Alasan lainnya adalah permainan tempo. Di saat emosi sedang memuncak, penonton butuh penyaluran ketegangan (tension relief). Dan dengan menaruh adegan komedi, penonton memiliki cara untuk melepaskan sebagian ketegangan itu, yakni melalui tawa. Ini yang disebut dengan comedy relief.

Sebagai contoh, pada adegan di galeri seni, tokoh Meimei ditemani dua orang kenalan yang sok suci, mengejek kelakuan orang-orang yang menurut mereka "hedon". Ternyata salah satu orang yang diejek tersebut adalah Andien, sahabat lama Meimei. Meimei bertengkar dengan Andien dan kemudian menyeretnya ke dalam WC wanita. Di dalam, pertengkaran semakin menghebat hingga Meimei sangat terpukul oleh kata-kata pedas sahabatnya. Begitu Andien meninggalkan Meimei, ternyata kedua tokoh sok suci tersebut kepergok meninggalkan salah satu ruang toilet sambil membereskan baju.(1)

Jika Anda belum pernah menonton Arisan, bisa jadi bingung: lucunya di mana? Namun saya menyaksikan sendiri bagaimana para penonton bioskop tertawa lepas di adegan ini.

Adegan ini tidak akan mengundang tawa seandainya ditaruh sembarangan. Ditaruh di awal, misalnya, mereka kepergok dulu. Lantas selanjutnya berkomentar mengenai orang-orang hedon. Jadinya bukan komedi, hanya sekadar sinis. Keberhasilan adegan ini mengundang tawa sebagian besar karena faktor tadi: pewaktuan. Saat penonton butuh tertawa untuk melepaskan ketegangan, berilah adegan yang bisa mereka manfaatkan untuk tertawa.

Intinya: penguasaan tempo adalah pegangan kita untuk mengeksplorasi suatu genre fiksi yang belum kita kuasai. Sebelum kita coba menulis dalam genre tersebut, bacalah karya-karya sealiran. Setelah kita menemukan tempo yang alamiah, barulah coba menulis. Kalau tidak begitu, reaksi yang umumnya muncul adalah, "Ternyata susah ya, nulis cerita komedi/drama/horor/aksi/lainnya."

Bisa jadi itu pertanda kita menganggap remeh genre tersebut.

_______

(1): Sebenarnya sedikit aneh bagaimana dua orang ini bisa masuk ke toilet duluan sebelum Meimei dan temannya. Namun, ini nggak dibahas karena topiknya bukan realitas dalam fiksi (believability).

Membuat Cerita Lebih Berbobot

Tanya:
Bagaimana cara membuat cerita kita jadi lebih berbobot?

Jawab:
Mungkin akan terdengar membosankan, tapi jawabannya adalah: menguatkan dasar-dasar penulisan kreatif.

a) Penggunaan tanda baca dan diksi
Menguasai tanda baca bukan sekadar tahu di mana menaruh titik, koma, tanda kutip dan kawan-kawan. Melainkan juga paham fungsinya. Misalnya, koma memberikan jeda. Sementara titik menyuruh kita berhenti dan menyatukan makna kalimat yang kita baca.

Pengolahan diksi juga bukan sekadar menggunakan kata-kata yang terasa indah. Atau pengulang-ulangan. Namun juga bagaimana menyampaikan cerita agar terasa mengalir. Dan terbayang jelas di benak.

Jangan sembarangan memanjangkan kalimat dengan merantai-rantai koma. Atau lupa diri membumbui kalimat dengan kata-kata indah. Karena bisa membuat pembaca kehabisan napas.

Napas? Ya, ada yang namanya napas membaca.


b) Menyamakan napas membaca (bermain tempo)
Dalam menari berpasangan, kita akan diajarkan untuk menyamakan napas dengan pasangan kita. Menulis juga sama dengan berdansa. Kita perlu menyamakan napas dengan pembaca. Kalau kita terus-menerus membawa pembaca dengan alur cepat, mereka bisa ketinggalan langkah.

Cobalah ingat saat kita asyik membaca cerita. Cerita serasa berputar di benak kita. Menari. Ketika kita harus membalik halaman untuk membaca sekali lagi, keasikan itu terganggu. Tarian di benak kita berhenti. Terpaksa mulai lagi dari berpegangan tangan dan melangkah.

Dan itu meliputi juga dua bagian berikut;

c) Menguntai paragraf
d) Menyajikan alur cerita

e) Penokohan dan interaksi antartokoh
Inilah faktor utama pengait emosi pembaca. Plot kita bisa sederhana saja: cinta antara dua orang manusia. Tapi dengan tokoh yang kuat, pembaca bisa tetap memiliki keterkaitan emosi yang hebat.

Apa hubungannya lima poin di atas dengan cerita yang lebih berbobot? Memangnya, apakah definisi berbobot bagi kamu?

1) Apakah menulis cerita yang tidak pernah dipikirkan orang sebelumnya?

2) Apakah menulis plot yang begitu kompleks agar pembaca bingung dalam memahaminya?

3) Atau apakah menulis suatu cerita yang berisikan suara khas kita, penulisnya? Sehingga karya ini menjadi otentik?

Bagi saya, cerita berbobot itu adalah yang ketiga. Cerita jenis pertama sudah tidak ada lagi di dunia. Dan jenis kedua pasti berhasil dalam tujuannya: membuat bingung.

Tapi ini sekadar pendapat saya. Bisa saja salah.

Ide Tidak Akan Berharga, Tanpa Diwujudkan

Dalam berbagai acara dan kesempatan, banyak sekali hadirin yang berkata, "Saya ingin menulis cerita, tapi idenya masih belum terlalu bagus. Jadi saya cari-cari dulu." Ini adalah pola pikir yang merugikan diri sendiri. Karena dalam penulisan kreatif, ide memang tampak sangat berharga. Tapi hanya kalau sudah diwujudkan.

Sebagai contoh, Donna mendapatkan banyak surat pembaca yang berkata bahwa mereka juga pernah memikirkan ide yang serupa dengan salah satu novel Donna. Terlepas dari benar atau tidak, ada satu perbedaan yang jelas: Donna benar-benar mewujudkan ide itu. Ide Donna menjadi jauh lebih bernilai daripada yang hanya tersimpan di benak.

Derek Sivers, presiden dan pemrogram CD Baby dan HostBaby berkata, "Menurut saya, ide tidak ada harganya kalau tidak direalisasikan. Ide itu sekadar pengali. Realisasilah yang bernilai jutaan."

Hal ini juga berlaku untuk penulisan kreatif. Dengan mengadaptasi contoh Derek mengenai bisnis, nilai suatu karya ditentukan dari pengalian antara dua hal:

1. Ide (cerita):
  • Ide superjelek = 0
  • Ide buruk = 1
  • Ide standar = 25
  • Ide bagus = 100
  • Ide luar biasa = 200

2. Penulisan (dan penceritaan):
  • Tidak dituliskan = Rp100
  • Penulisan buruk = Rp1.000
  • Penulisan standar = Rp100.000
  • Penulisan bagus = Rp1.000.000
  • Penulisan luar biasa = Rp10.000.000

Ide paling hebat, jika tidak dituliskan, hanya bernilai Rp20.000. Bahkan ide standar pun jika ditulis dengan bagus akan berharga Rp25 juta. Dan itu akan lebih bernilai daripada ide luar biasa yang ditulis secara standar (Rp20 juta).

Jangan menghabiskan usaha terlalu banyak untuk mencari ide luar biasa. Cukup milikilah inti pesan yang kuat. Paling jelek, ide kita akan standar.

Apa salahnya? Novel seperti Harry Potter dan Stardust tidak benar-benar memunculkan ide yang baru. J.K. Rowling meramu berbagai mitologi dan hikayat ke dalam plotnya. Tidak perlu saya jelaskan lagi kesuksesan seri ini dalam memikat para pembaca setianya. Lalu, konsep perjalanan bersama dua tokoh asing sehingga menjalin ikatan batin yang kuat juga tidak baru. Tapi Neil Gaiman dapat mengolahnya menjadi novel fantasi yang khas.

Jadi, pusatkanlah usaha kita pada menghasilkan penulisan yang sebaik mungkin, khas kita sendiri. Dengan kata lain: otentik.

Narasi yang Memikat

Narasi deskriptif adalah bagian yang sama menantangnya seperti dialog. Narasi yang kuat akan dapat menghanyutkan pembaca dalam dunia ciptaan penulis. Sebaliknya, narasi yang lemah akan senantiasa mengingatkan pembaca bahwa ia sedang duduk dan membaca buku.

Sebagian besar pembaca Da Vinci Code mengaku bahwa narasi deskriptif Dan Brown memang menghanyutkan. Mereka merasa sedang mengendap-endap dalam kegelapan museum Louvre. Atau berlarian di kota Paris. Padahal narasi Dan Brown ini sangatlah panjang. Jika dikerjakan sembarangan, pembaca akan segera sadar sedang membaca buku dan mudah bosan. Salah satu kunci keberhasilan Dan Brown adalah membuat narasinya menarik untuk dibaca.

Jadi bagaimana agar kita dapat menulis narasi yang lebih menarik? Cukup gunakan dua prinsip ini: Pertama, libatkan sebanyak mungkin indra. Kedua, tunjukkan--jangan dijelaskan.

Banyak prosa yang hanya melibatkan dua indra: pendengaran dan penglihatan. Seperti contoh berikut.
Langit tampak cerah kala Dio melangkah dalam taman pamannya. Padahal malam sebelumnya hujan deras sekali. Taman itu penuh oleh berbagai rumpun dan bunga di satu sisi, dengan jalan tanah yang dihiasi rumput gajah. Ia menghampiri pojok kesukaannya, yang ditempati putri malu, soka, dan bunga trompet.

Namun, tiba-tiba seekor anjing menyeruak ke dalam taman sambil menyalak keras. Saking terperanjatnya, Dio tidak mampu bergerak.

Dengan prosa seperti ini, kita tidak membantu pembaca untuk membayangkan adegan. Kita pun hanya mendorong pembaca untuk melihat atau mendengar cerita.

Bantulah pembaca lebih jauh. Buat mereka melihat, mendengar, menyentuh, mengecap, berlari, hingga berteriak bersama tokoh-tokoh kita. Lalu tunjukkanlah melalui tokoh kita. Jangan sekadar menjelaskannya. Prosa di atas, misalnya, bisa kita ubah menjadi;
Telapak Dio memayungi matanya dari cahaya surya. Semburat biru langit memudar hingga putih di kejauhan. Bagai kanvas yang bebas dari gumpalan awan. Langkah Dio terasa lebih ringan menapaki kebun pamannya. Kakinya hanya bercawatkan sendal jepit, sehingga telapak rumput gajah langsung menggelitiki kulitnya. Ia berhenti dan berjongkok, ganti menjawil serumpun putri malu yang langsung menyelubungi diri. Wangi tanah basah menyusupi hidungnya. Beralih ke sebelah, Dio memetik lembut sekuntum bunga soka. Ia mengendusnya, seraya menggesekkan bunga putih kekuningan itu ke hidungnya. Lantas ia hisap cairan di pucuknya. Manis walau sesaat. Lidahnya mencari-cari, tapi rasa itu telah lenyap.

Dio berniat memetik sekuntum soka lagi sebelum dibatalkan kerikan jangkrik. Membungkuk, Dio mencari-cari. Semakin keras kerikan, semakin awas gerakannya. Perlahan, ia membelai dan menepis serumpun bunga terompet. Dan ia menemukannya! Menempel di batang terdalam, hijau jangkrik itu menyatu dengan tempatnya hinggap. Tak bersuara. Sang jangkrik mempertaruhkan keselamatannya pada sunyi. Tangan Dio maju, dua jari membentuk capit. Sedikit lagi sayap jangkrik akan terkunci dan...

FWOGH-WOGH-WOGH-WOGH! WOOGH! WOOGH!

Dio terlompat mundur. Kedua tangannya lepas kendali hingga membentur dahi. Erangan pendek terlepas dari mulutnya. Hanya itu, selagi ia melihat seekor anjing berlari ke arahnya sambil menyalak keras. Kaki Dio seperti terpaku ke tanah. Mulutnya tersumpal. Matanya melekat pada barisan taring anjing yang berselaput liur.

Kalau begitu, apakah jadinya tulisan yang lebih panjanglah yang lebih menarik? Tidak juga. Karena kita tidak akan menggunakan pendekatan ini untuk semua adegan. Justru dengan membiasakan diri untuk menunjukkan, alih-alih menjelaskan, kita akan dapat membedakan antara adegan yang penting dan yang tidak.

Contoh di atas akan tepat kala inti yang ingin kita sampaikan adalah keterikatan tokoh Dio dengan kebun pamannya. Namun, akan salah jika inti cerita ternyata anjing baru paman Dio.

Buatlah adegan penting menjadi lebih memikat. Dan potong habis adegan yang tidak penting. Inilah yang membuat cerita menjadi memikat.


Latihan Pribadi

Pilihlah sebuah cerita lama. Ambil satu bagian penting narasi yang hanya melibatkan satu atau dua indra. Dalam waktu lima belas menit, cobalah tulis ulang. Libatkan sebanyak mungkin indra. Tunjukkan, jangan jelaskan. Setelah selesai, bandingkan dengan tulisan awalnya.

Milikilah Pesan dan Bersenang-senanglah

"Menulis memang mudah," ujar Donna pada anak-anak SMP Madania, Bogor. Puluhan pasang mata memerhatikan saat Donna melanjutkan, "Hanya kalau kamu serius melakukannya."

Kumpulan anak-anak ini baru saja menyelesaikan tugas mereka, membuat novel dalam satu bulan! Acara Writing Open Day ini adalah akhir dari rangkaian pembelajaran mereka. Pada hari ini, karya sejumlah penulis belia ini akan mendapatkan penghargaan. Para praktisi industri perbukuan pun akan ikut berbagi pengalaman. Benny Rhamdani dari Mizan mewakili penyunting. Sementara Donna dan saya mewakili penulis.

Beberapa anak tampak mengangguk. Namun ada juga yang mengeryitkan kening. "Serius nggak selalu menyeramkan, kok," lanjut saya. "Main basket juga bisa serius. Dan kita tetap senang saja melakukannya."

Kami pun mulai dari mengajak para penulis belia ini bertanya pada diri sendiri, "Mengapa kita menulis?" Cara mudahnya, ingatlah karya yang membuat kita benar-benar merasa, "Karya seperti inilah yang ingin aku tulis." Lalu pikirkan, "Kenapa?" Ingat juga karya yang berkesan panjang dalam diri kita. Boleh novel, film, atau komik. Apa persamaan antara cerita-cerita ini?

Umumnya, karya-karya tersebut memiliki pesan. Dan bukan pesan moral gamblang yang sekadar ditempel di belakang cerita seperti, "Janganlah mencuri, adik-adik. Mencuri itu tidak baik."

Justru sebaliknya. Semakin bagus karya, semakin tidak gamblang pesannya. Tapi malah tertanam dengan kuat pada diri kita. Banyak anak yang membaca Harry Potter, misalnya, terinspirasi untuk menjadi pahlawan. Banyak orang dewasa juga yang kembali merenungi hidup setelah membaca karya Mitch Albom, Five People You Meet in Heaven. Pesan ini terkandung seutuhnya dalam cerita.

Dan inilah yang membuat perbedaan antara karya yang menggugah dan karya yang biasa-biasa saja.

Meneruskan obrolan tentang karya yang menggugah, Donna menanyakan karakter apa yang para hadirin sukai dari Harry Potter? Jawabannya beragam. "Harry!" seru seorang anak lelaki yang begitu didekati malah malu. "Hermione!" tukas seorang anak perempuan dengan tegas.

"Ada yang suka Ron?" tanya saya. "Hagrid?" Walau sembunyi-sembunyi, ada yang mengangguk.

"Selain pesan, ini juga salah satu keunggulan karya yang menggugah," ucap Donna. "Pembaca mana pun akan dapat menemukan dirinya pada salah satu karakter dalam cerita."

"Bayangkan kalau kita membaca cerita seperti ini," ucap saya sembari membuka slide yang menunjukkan gambar di kanan ini. "Narasinya cantik dan bahasanya indah, seperti pemandangan ini. Tapi tidak ada penggambaran tokoh. Kira-kira berapa lama sebelum kita bosan?" Sambil melangkah ke tengah, saya melanjutkan. "Coba saja, kalau melihat foto bersama, wajah siapa yang pertama-tama kita cari?" Seorang anak lelaki berambut keras yang duduk di barisan kanan menunjuk dirinya sambil tersenyum hingga pipinya membulat.

Anak itu, yang mengenalkan diri sebagai Valdi, sudah menangkap intinya. Walaupun kita membuat cerita fantasi di antah berantah, pembaca akan selalu mencari relevansi antara dirinya dengan tokoh cerita. Karena itu, penokohan yang kuat dan membumi, serta interaksi antar karakterlah yang menjadi kunci kedekatan emosi pembaca.

Star Wars, sebagai contoh, berlatarkan dunia antah-berantah berteknologi tinggi. Namun, salah satu adegan yang paling diingat para penonton justru bukan kecanggihan teknologinya. Begitu trilogi kedua dibuat dengan bantuan pencitraan komputer, tetap saja tidak ada yang bisa mengalahkan kekuatan adegan ini. Adegan mana yang saya maksud? Tak lain ketika Luke menyadari bahwa Darth Vader adalah ayahnya.

Obrolan di Aula MPH ini terus berlanjut. Dari berbagai teknik penulisan (memulai cerita, show, don't tell, orisinal versus autentik, dan manajemen konflik) hingga tips untuk mencari ide maupun melawan kebosanan dalam menulis. Para penanya juga mendapatkan hadiah buku dan notes eksklusif Gramedia Pustaka Utama.

Menjelang akhir, sejumlah anak mulai kehilangan konsentrasi. Udara di aula sendiri semakin terasa panas. Namun, mereka kembali memerhatikan saat kami menayangkan beberapa klip video menggelitik untuk menunjukkan ilustrasi tentang pentingnya mengambil sudut pandang yang berbeda, memikat pembaca dari awal, hingga pentingnya memeriksa ulang (check and recheck) tulisan. Barisan depan pun tergelak saat saya dan Donna mengajak mereka untuk bermain-main dengan tulisan saat bosan. Misalnya, membayangkan naskah mereka dibawa ke unit gawat darurat dalam ambulan yang sirenenya berbunyi mentok-mentok-mentok-mentok-mentok-mentok.

"Apa yang terjadi?" tanya dokter.

"Naskah saya sekarat, Dok! Ceritanya mentok saat tokoh cowok bingung mau jadian apa nggak?"

"Tambahin konflik aja," ujar dokter sambil memasang infus. "Munculin orang baru yang kayaknya disukai ama si cewek."

"Saat jenuh, break aja," simpul Donna. "Atau kembalikan kesenangan kita untuk menulis."

"Ya, jangan sampai menulis jadi beban," tambah saya. "Saya contohkan basket lagi. Apa bedanya main biasa dengan pertandingan? Pertandingan bisa bikin kita jadi terbebani. Tapi main basketnya tidak jera, kan? Karena kita suka. Menulis juga gitu. Untuk mengatasi kejenuhan, cobalah menulis dengan tujuan bersenang-senang."

"Dengan begitu," tutup Donna. "Menulis menjadi mudah."

Jangan Jadi Orisinal, Jadilah Otentik

Masih dalam acara Ngobrol Seru (tapi Santai), Luna menyampaikan bahwa ada dua macam penulis. Pertama, adalah yang hanya mau menulis ide-ide hebat. Sebelum ia merasa suatu ide itu benar-benar unik ia tidak akan mau menuliskannya. Begitu terbit, karyanya bisa jadi fenomenal dan menginspirasi banyak orang. Namun, butuh waktu lama sebelum ia kembali berkarya. Bisa jadi sampai sepuluh tahun sekali.

Yang kedua menulis begitu memiliki suatu ide yang cocok. Karena itu, begitu terbit, karyanya tidak sefenomenal tipe pertama. Namun, ia produktif. Dalam setahun, bisa empat buku yang ia hasilkan.

Tipe penulis seperti apakah Anda?

Donna mengajukan dirinya sebagai contoh tipe kedua. Baginya, yang penting adalah menyampaikan pesan kepada sasaran pembaca. Karena itu, ia tidak mencari ide yang fenomenal. Yang ia angkat adalah keseharian. Dan justru cerita keseharian itu yang bisa lebih mengena sasaran pembacanya (mayoritas pembaca remaja).

Isman menambahkan, bahwa kalaupun kita memilih sebagai tipe pertama, tetaplah berkarya. Minimal untuk diri sendiri. Atau kalangan terbatas. Karena dalam penulisan kreatif, ide bagus hanya muncul di antara ide-ide buruk. Dalam sepuluh ide, mungkin hanya satu yang benar-benar bagus. Tetapi, tanpa mewujudkan sembilan ide sebelumnya, ide kesepuluh yang bagus itu tidak akan muncul.

Luna menyetujui dengan mengingatkan pepatah Inggris, "There's nothing new under the sun." Ide sendiri tidak ada yang benar-benar orisinal sekarang. Jadi jangan terlalu ngotot untuk mencari ide yang orisinal.

Ada sisi lain dari pepatah itu, tambah Isman. Ide-ide hebat sekarang sebenarnya merupakan pengolahan dari ide-ide hebat sebelumnya. Bahkan konsep segar atau baru sendiri merupakan perbandingan dengan ide sebelumnya. Ide segar menggunakan pendekatan yang relatif berbeda dengan gagasan pada umumnya. "Itulah yang perlu kita arah," ucap Isman. "Pendekatan yang segar dan otentik. Jangan terlalu terpaku untuk mencari ide orisinal, tapi bikinlah ide itu menjadi khas kita. Otentik."

Donna mengajukan contoh, "Banyak cerita yang mengeksploitasi jeleknya hubungan keluarga. Karena itu, saya malah melakukan sebaliknya. Dalam Quarter Life Fear, Saya membuat hubungan antara tokoh utama dengan orangtuanya sangat dekat. Bahkan saking dekatnya, tak jarang sang tokoh utama merasa sesak sendiri saat butuh privasi. Dan di situlah muncul konflik." Banyak pembaca yang menyukai tokoh Mama Belinda ini, menurut Donna. "Sampai pada ngirim e-mail, bilang pengin punya ibu seperti itu," gelak Donna. "Dan ada juga yang berkomentar, 'Wah, ini kayak Mama gue banget!'"

Isman menyodorkan contoh lain dari buku nonfiksinya, Bertanya atau Mati, "Pernah memerhatikan kebiasaan orang untuk bilang, 'Kapan nyusul'?" tanyanya. Saat orang lain wisuda: Kapan nyusul? Saat ada yang menikah: Kapan nyusul? Saat ada teman yang melahirkan: Kapan nyusul? "Saya coba menawarkan pandangan yang berbeda: kenapa buru-buru sih?" ujar Isman. "Gimana kalau saya ngunjungin rumah duka? Apa nanti saya ditodong juga: Kapan nyusul? Dengan penggambaran itu, saya menyampaikan pendapat bahwa hidup itu bukan perlombaan. Nyante aja. Masing-masing ada waktunya sendiri."

Jadilah otentik. Cari pendekatan yang segar, bukan ide baru. Dan temukanlah pendekatan itu dengan terus berkarya.

Ngobrol Seru (tapi Santai) di Rumah Alebene

Pada hari Sabtu (27 Januari 2007), jam tiga sore, empat orang penulis Gramedia Pustaka Utama (GPU) berkumpul di Rumah Alebene Bandung untuk membahas satu pertanyaan utama: Apakah menulis bisa menjadi pilihan profesi?

Sebagai pembuka, Isman dan Donna membahas berbagai jalur karier yang bisa ditempuh seorang penulis. Misalnya: copywriter (penulis naskah komunikasi pemasaran/iklan), penulis skenario, penulis artikel/kolom, maupun penulis buku. Selain menerbitkan buku, Donna dan Isman sendiri adalah penulis lepas. Mereka berdua telah menjalankan berbagai proyek copywriting, penulisan artikel/kolom, maupun penulisan skenario (walau bukan untuk media televisi).

Berbagai jalur tersebut bisa ditempuh dalam dua bentuk keterikatan: penulis lepas (freelance) maupun penulis di bawah perusahaan. Atau dalam dua bentuk komitmen: penulis paro-waktu (part-time) maupun penuh-waktu (full-time).

Luna melanjutkan dengan mengapa ia memilih untuk menjadi penulis buku penuh-waktu. "Padahal, saya nggak pernah bercita-cita jadi penulis," ujar lelaki yang sering dikira perempuan karena nama penanya. Namun, semenjak naskahnya diterbitkan pada tahun 2005, ia berfokus ke penulisan buku. Dan kini, ia sudah menerbitkan delapan buku di tiga penerbit. Empat judul terakhir diterbitkan GPU.

Bacem, yang datang terlambat, juga tidak pernah bercita-cita jadi penulis. Namun, alasannya berbeda. "Niatnya sih mau jadi foto model," ujar penulis yang lebih senang dipanggil Acem. "Tapi kurang ganteng. Jadi we penulis."

"Terlepas dari alasan pribadi," lanjut Isman. "Sebelum memilih jadi penulis, kita perlu mencari tahu segala hal berkaitan dunia yang akan kita terjuni." Ia memasang sebuah klip video pendek tentang seekor anjing galak di balik pagar kayu yang menyalaki seorang lelaki. Merasa terlindungi pagar, si lelaki balik mengganggu si anjing sambil jalan. Tanpa ia sadari, tiga meter di depannya, ada celah besar di antara pagar.

Isman mengaitkan analogi itu ke dunia penerbitan buku. Jika ingin terjun sebagai penulis buku penuh-waktu, salah satu yang mutlak perlu adalah perencanaan finansial. Penerbit pada umumnya membayarkan royalti hanya dua atau tiga kali dalam setahun. Berarti dalam empat atau enam bulan sekali. Jika ini adalah satu-satunya sumber penghasilan, perlu perencanaan yang ketat akan pembelanjaan dan prakiraan pendapatannya. Terutama karena prakiraan itu akan sering meleset, tergantung berapa penjualan buku.

Donna berbagi tentang satu detail kehidupan penulis, "Orang-orang di sekitar kita nggak akan ngerti." Bersiap-siaplah akan teman atau keluarga yang mengira seorang penulis selalu memiliki waktu luang. Jangan kaget jika banyak orang yang mengira kehidupan penulis itu begitu glamor dan mudah. Padahal sama saja seperti profesi lain: perlu disiplin yang kuat, terutama melawan kemungkinan stres.

Luna menyumbangkan pendapat bahwa, "Kalau sudah milih mau jadi penulis, memang harus disiplin." Setelah berpikir lama, Acem langsung menambahkan, "Idem." Pada saat ini, Isman, Donna, dan Luna berusaha merebut mik dari tangan Acem.

Donna yang berhasil mendapatkan mik menegaskan bahwa seorang berprofesi penulis perlu menjadwalkan waktu khusus untuk menulis. Misalnya satu jam. Berapapun hasilnya, tidak masalah. Ada hari di mana dalam sejam bisa menghasilkan dua puluh halaman. Namun, bisa juga hanya dua puluh kata. Tapi satu jam itu harus ada tiap hari.

Diskusi berlanjut ke proses kreatif masing-masing penulis. Luna, Donna, dan Bacem memiliki pendekatan berbeda-beda terhadap menulis. "Dan itu wajar," ujar Donna. "Karena tidak ada standar baku untuk kreativitas." Sebagaimana pula metode tiap orang untuk disiplin maupun mengelola waktu berbeda-beda. Perbedaan metode tidak penting. Yang penting adalah pelaksanaan.


Bagi-bagi hadiah
Setiap penanya mendapatkan kalendar GPU. Di klimaks acara, Isman memimpin game Sambung Satu Kata. Para hadirin yang berminat ikut tinggal berdiri. Sekitar tiga perempat hadirin berdiri. Dimulai dari para penulis, tiap orang mengucapkan satu kata. Peserta berikutnya harus menyambung dengan kata lain sehingga membentuk kalimat yang logis. Jika seorang peserta merasa untaian kata-kata sebelumnya sudah membentuk satu kalimat utuh, ia boleh mengucapkan "Titik!" Ini akan membuat kalimat berakhir. Dan orang berikutnya mulai dari kalimat baru.

Menurut Isman, game ini sebenarnya adalah salah satu permainan kepenulisan untuk melawan kepenatan atau kemacetan dalam berkarya. "Tapi [game ini] juga asik untuk rame-ramean."

Game berjalan meriah. Persaingan pun semakin ketat saat mencapai tiga finalis. Di sini, peserta yang bisa mendapatkan "Titik" akan menjadi pemenang pertama dan berhak atas paket hosting gratis setahun dengan kapasitas 50MB dari Qwords. Dia juga berhak memilih judul buku yang jadi hadiah. Plus boneka tokoh anjing bernama Spot, berdasarkan seri buku anak populer karangan Eric Hill. Dua pemenang berikutnya mendapatkan paket hosting 25MB dan pilihan buku lain.(1)

Sebagai penutup, Donna membagikan tas GPU bertuliskan "Too Many Books Won't Kill You" yang cocok untuk para pencinta buku. Dan Isman merangkum obrolan selama dua jam, "Apakah penulis bisa menjadi pilihan profesi? Bisa. Namun, jangan jadikan penerbitan buku sebagai penunjang kebutuhan finansial utama. Kecuali kita telah memiliki perencanaan dan disiplin finansial yang kuat." Alternatifnya adalah menjadi penulis lepas selain penulis buku. Atau menjadikan penulisan buku sebagai profesi sampingan. Bisa juga menjadi penulis di bawah naungan perusahaan, misalnya copywriter agensi periklanan.

Akhir kata: apapun pilihan jalur karier kepenulisan Anda, teruslah berkarya!2
_____________

1: Salah seorang pemenang sepertinya tidak sadar kalau ia ikut mendapatkan paket hosting dan langsung pulang. Jika Anda adalah pemenang tersebut, segera hubungi rendy_m_aATyahooDOTcom.

2: Terima kasih kepada rekan-rekan GPU, Rumah Alebene, dan Qwords atas kerja samanya. Juga kepada para hadirin yang turut meramaikan dengan pertanyaan dan partisipasinya. Kalianlah yang membuat obrolan ini jadi seru.

Menulis Adalah Kung Fu

Dalam serial komik Kenji karya Ryuchi Matsuda & Yoshihide Fujiwara (di Indonesia diterbitkan oleh Elex Media Komputindo), sang tokoh utama mempelajari kungfu Delapan Mata Angin. Namun, dalam perjuangannya dalam mendalami ilmu ini, ia mempelajari kungfu gaya lain, dari Tai Chi hingga Kungfu Enam Kehendak.

Saat mengetahui kelemahannya dalam tinju, misalnya, ia mengikuti sasana tinju dan mempelajari kungfu yang berfokus pada pukulan. Namun, ia tidaklah berganti aliran. Ia menggunakan pengetahuan dan teknik baru yang bisa menguatkan kungfu Delapan Mata Anginnya. Sementara yang tidak, ia sisihkan.

Hal ini serupa dengan menulis. Pada satu saat, seorang penulis akan mendapatkan "aliran" menulisnya yang akan ia dalami. Namun, dalam proses pembelajaran, kita perlu mencoba dan mempraktikkan "gaya-gaya" menulis lainnya untuk mendapatkan suatu pencerahan, menambal kekurangan yang kita miliki.

Pada akhirnya, suatu gaya khas penulis akan muncul dari pengalaman seseorang bereksperimen dan berpraktik.

Mari berlatih menulis ala kung fu!

a. Ingin mempelajari cara membuat judul yang menarik?
Bisa dengan berlatih menjadi copywriter atau caption-writer. Ambillah foto secara acak, lantas berikan teks singkat yang membuat situasi fotonya menjadi jelas. Atau beri balon dialog sehingga menjadi lucu. Ini latihan berpikir multisituasi. Satu foto bisa menjadi bermacam-macam konteks adegan dengan pemberian teks yang berbeda. Dengan begitu, kita dapat mempelajari pencarian berjuta jalan menuju terbentuknya satu kalimat.

b. Ingin membuat kalimat yang efektif?
Bisa dengan berlatih menulis flash fiction atau berlatih menjadi editor. Kuasai pola pikir memanfaatkan suatu batasan ketat menjadi keunggulan dalam bercerita. Dan jalani disiplin untuk menyisihkan kata-kata yang berlebihan.



Editor siap memotong kata (atau menyabet mereka yang masih menulis "disamping" atau "di denda")


c. Ingin membuat dialog yang efektif dan menarik?
Cobalah membuat atau mempelajari skrip komedi situasi. Carilah pencerahan menuju dialog yang dapat menuntun pembaca/pendengar menyelami karakter yang berbeda. Temukan juga cara untuk membuat dialog menjadi sesuatu yang menarik dan penting bagi cerita, bukan sekadar penambah jumlah halaman.

d. Apakah tulisan anda terlalu "telling"?
Cobalah menulis skenario film aksi atau membuat (skrip) komik. Pelajari kunci bercerita secara visual, sehingga dapat menangkap inti dari pakem "Show, don't tell".

e. Bagaimana melatih kedisiplinan menulis?
Cobalah membuat blog (boleh untuk pribadi saja, tidak disebar ke umum) yang di keterangannya ditegaskan: "…akan diisi setiap hari". Atau cobalah membuat skrip/storyboard komik strip harian. Biasakan diri agar dapat secara alamiah menemukan waktu menulis setiap hari.

Ini hanyalah sebagian contoh. Temukan cara-cara kita sendiri untuk menguatkan kemampuan diri.

Jangan percaya dubbing film kungfu lawas. "Your kung fu is verrrry good. Teach me Master!"
adalah pola pikir yang salah.

Inti kung fu adalah pengenalan diri. Dan batas diri. Kemudian melampauinya.

Tidak ada yang bisa mengajarkan itu.

Jalanilah sendiri. Sama seperti naik sepeda. Kalau belum pernah naik ke sadel dan mengayuh, berhentilah mencari tahu teknik. Coba terus. Kalau sudah bersepeda ke mana-mana, baru ngobrollah dengan pengendara sepeda lain.

Sebelum itu, diam. Dan berkeringatlah.


Mengapa ini penting?
Jika hanya berkutat pada tempurung kita, bukannya itu kontradiksi dengan istilah "penulisan kreatif"? Dengan mencoba berbagai hal baru, kita memperluas zona kenyamanan kita. Secara ajaib, dengan banyak mempelajari hal baru dengan sungguh-sungguh, keahlian dasar kita malah makin kuat, bukannya makin kabur.


Perkecualian
Jika Anda belum mengetahui tipe penulis seperti apakah Anda, atau apa tujuan Anda dalam menulis, lebih baik jangan dulu lakukan ini. Karena bisa jadi Anda malah terjebak sekadar melakukannya karena iseng. Alih-alih mendapatkan pembelajaran, nanti malah jadi bingung.

Kuis Singkat: Apakah Anda Seorang Penulis?

1. Apakah Anda bisa baca-tulis?
a. Ya.
b. Tidak, walaupun dengan mengaku begitu, berarti saya berbohong.


2. Apakah Anda senang menulis?
a. Ya.
b. Jawabannya bisa diucapkan aja, nggak? Saya males ngetik.


3. Apakah teks yang sesuai untuk gambar di bawah?


a. Where a writer's heart is
b. Lah, kan saya nggak bisa baca-tulis, gimana sih?


Kunci jawaban

  • Semua a: Ya.

  • Ada satu atau dua b: Mungkin.

  • Semua b: Kemungkinan besar penulis humor.


Lho? Gitu aja?

Memangnya apa lagi? Harus menerbitkan buku? Harus hapal Kamus Besar Bahasa Indonesia?

Ngobrol Soal Identitas Kepenulisan

(Dialog berikut saya kutip dari diskusi dalam milis Writer's Tavern, antara saya, Wicak, dan donna.)




Wicak:

Hmm... Isman, saya tertarik dengan urut-urutan itu. Mau nggak menjelaskan lebih lanjut soal 'identitas diri yang kuat' sebelum 'berkarya secara konsisten'. Apa yang dimaksud dengan identitas diri dan kapan seseorang tahu dia sudah memiliki identitas diri yang kuat?


donna:
Soal identitas diri, mungkin more or less begini ya. Seorang penulis itu idealnya punya idealisme atau setidaknya sesuatu yang ingin ia sampaikan via tulisannya. (setidaknya ini menurutku) Dia juga sebaiknya tahu, tujuannya menulis untuk apa, apa dia berencana mengembangkan kemampuan menulisnya atau tidak, apa dia hanya menjadikan menulis sebagai hobi atau memang berniat menulis pro, dll.


isman:

Kira-kira begitu. Dia tahu dan sadar bahwa dia menulis itu karena apa dan untuk apa. Jadi rutinitas berkaryanya konsisten dengan identitas ini. Kalau berkarya secara rutin tapi tidak ada identitas, jadinya sekadar hasil. Karena mau konsisten dengan apa?

Dan identitas ini tidak harus ideal. Saya kenal dengan seorang penulis yang terbuka menyatakan bahwa ia menulis untuk uang. Dan saya cukup menghormati dia karena ia konsisten dengan itu. Tidak mengumbar idealisme. Dan tetap rutin berkarya. Praktis saja. Toh banyak juga arsitek dan seniman yang berkarya untuk uang. Apa bedanya dengan penulis?

Nah, ia menyadari dan merangkul identitas kepenulisannya. Tapi bagaimana jika sebaliknya? Bisa jadi ketidakbahagiaan; karena ingin membuat karya yang laku, tapi takut dicap sekadar "mencari uang". Padahal persepsi orang lain itu kalah penting dibandingkan persepsi diri sendiri.


Wicak:
Apakah identitas diri yang kuat sama dengan seseorang telah mencapai tingkat selebritas tertentu atau kepakaran atau bagaimana?


isman:
Tingkat selebritas atau kepakaran itu lebih ke arah citra diri, Cak. Konteks "identitas"-nya bermain di ranah persepsi publik. Orang lain.

Sementara identitas yang kumaksud di sini berlaku dalam ranah persepsi diri. Kalau identitas diri secara umum mungkin bisa dicari dengan pertanyaan: "Untuk apa kita dilahirkan di dunia ini?"

Sementara identitas kepenulisan bisa dijelajahi dengan pertanyaan: "Kenapa kita menulis?" Jawabannya, tentu saja, perlu lebih dalam dari sekadar "Suka aja." Satu pertanyaan itu akan menghasilkan cabang-cabang seperti:
  • Apakah pesan yang ingin kau sampaikan? Kalau tidak ada, kenapa? Kalau ya, apa dan kenapa?

  • Apa yang membuatmu tetap menulis? Apa yang bisa membuatmu berhenti menulis?

  • Apa yang kau anggap sebagai keberhasilan dalam menulis? Apa yang kau anggap sebagai kegagalan dalam menulis?

Dan masih banyak lagi. Kita memiliki identitas yang kuat saat bisa menjawab pertanyaan apa pun yang muncul berkaitan itu.

Dari deskripsi milis ini juga bisa dilihat: perbedaan penulis pribadi dan profesional dibedakan dari karakteristik identitas. Bukan dari kompetensi. Karakteristik penulis pribadi yang utama, ya hanya menulis untuk diri sendiri. Yang ekstrem, orang lain tidak boleh baca. Kalaupun ada yang baca, komentar apa pun tidak pengaruh baginya.

Penulis profesional menulis untuk orang lain. Karena itu, label "profesional"--selain dari bagian dari identitas--menjadi tuntutan. Kalau sekadar ingin membuat semau kita tanpa memedulikan pembaca, itu belum sepenuhnya profesional. Masih menuju, lah. Asalkan memang dalam proses belajar.

Kekaburan antara karakteristik identitas ini bisa menghasilkan konflik. Contoh yang jamak: Mau menulis untuk orang lain, tapi takut untuk mencoba. Atau menulis untuk pribadi, tapi memendam keinginan untuk diakui (atau dipuji) oleh orang lain.

Konflik ini bisa hilang dengan mengemban identitas yang jelas.


donna:
Seorang penulis yang menurutku identitas dirinya kuat, tahu di mana dia sebaiknya "bermain". Misalnya dia bagusnya nulis fantasy, tapi karena suka banget ama genre romance atau comedy maksain nulis, hasilnya belum tentu optimal.


isman:
Itu juga salah satu karakteristik identitas. Tapi jangan salah mengartikan identitas sebagai pembatasan. Bebas saja mengeksplorasi genre lain yang bukan kompetensi utama kita. Asalkan ingat kembali tuntutan "profesional". Kalau memang mau beralih genre, kita harus memastikan bahwa itu adalah karya yang dihasilkan dengan upaya terbaik kita--dengan memerhatikan pembaca.


donna:
Sebaiknya juga, dia tahu kelebihan dan kekurangannya apa, dan berusaha banget memoles kemampuannya terus-menerus supaya tidak stagnan.


isman:
Iya. Kalau sesuai identitasnya. Siapa tahu memang ia bahagia sebagai penulis yang stagnan. (Bisa saja terjadi. Walau belum pernah ketemu orangnya sih.)


Wicak:
Thanks atas pencerahannya.


isman:

Wehehe, semoga nggak malah jadi makin gelap. Ini cuman pendapat saya, lho. Bisa aja beda.

Intinya, aku rewel berkaitan identitas kepenulisan ini karena menyangkut kebahagiaan. Jujur saja, kehidupan seorang penulis akan sering sekali diancam ketidakbahagiaan. Yang utama adalah ancaman mental maupun sosial.

Tapi, asalkan identitas kepenulisan kita jelas dan kuat, kita akan bisa menghadapi ancaman apa pun (menyangkut kepenulisan, ya. Ditodong garong sih beda masalah.) Jangan salah, bahkan keberhasilan (contohnya kelarisan suatu buku) pun adalah suatu ancaman; apakah ia tetap bahagia jika buku berikutnya tidak laku? Apakah ia jadi tidak bahagia karena merasa "disetir" untuk menghasilkan karya yang memuaskan pembaca setianya? Pergelutan akan terus terjadi.

Bisa saja seorang penulis tidak sadar bahwa identitas kepenulisannya kuat. Yang ia tahu hanyalah: ia bahagia dengan menulis (baik saat melakukannya maupun tidak).

Itu sudah lebih dari cukup.

Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa penulis yang baik adalah penulis yang tidak bahagia. Saya menentang pendapat itu. Bagaimana dengan teman-teman?

Penulis Sebagai Pemasar: Hati-hati

Akhir-akhir ini, sering bergaung pendapat bahwa penulis perlu jadi pemasar yang baik. Ini adalah anjuran yang baik. Sayangnya, kurang lengkap.

Ada urutan yang perlu para penulis ketahui sebelum mulai memasarkan karya (ataupun diri). Seorang penulis sebaiknya:
  1. Memiliki identitas diri yang kuat

  2. Berkarya secara konsisten

  3. Baru bisa memahami dan mempraktikkan pemasaran dengan baik

Kalau urutannya terbalik bisa kacau. Nomor tiga sebelum dua: tidak efektif karena karyanya terbatas. Jujur saja, saya adalah penulis buku tipe nomor tiga sebelum dua. Kini saja sudah banyak orang yang lupa bahwa pernah ada buku yang berjudul Bertanya atau Mati! Lebih banyak orang yang tahu bahwa itu adalah nama blog.

Tentu saja, karya di sini bermakna luas. Tulisan blog pun bisa disebut karya. Serupa dengan contoh di atas, percuma kita promosi blog ke mana-mana kalau tulisan kita saja munculnya hanya sebulan sekali. Sementara blog seperti blogombal justru tanpa promosi bisa dikenal luas. Karena tulisannya muncul secara rutin. Dan konsisten dengan gaya Paman Tyo yang khas.

Nomor tiga atau dua sebelum satu: celaka. Ini sempat saya sampaikan di satu forum lain: akan gawat saat seorang penulis mulai menerbitkan karya bukan karena ingin menyampaikan sesuatu, melainkan karena sekadar ingin menghasilkan sesuatu. Bisa jadi karyalah yang akan lebih berkuasa dibandingkan penulisnya.

Sudah dua kali saya menyinggung identitas diri dalam kepenulisan. Seperti apakah itu? Bagaimana kita mengetahui identitas kepenulisan kita? Itu akan saya bahas di tulisan berikut.

Kiat Produktif Menulis Humor

Berdasarkan pengalaman spesifik menulis tiga puluh sketsa komedi per dua hari (karena sisa hari lain digunakan untuk revisi, pertemuan, dan rehat), saya dan donna juga belajar sejumlah kiat menulis produktif. Dan kiat-kiat ini bisa diterapkan untuk penulisan kreatif mana pun yang berfokus pada menangkap ide.

  1. Komputer adalah musuh inspirasi

  2. Jalan-jalan, bawa notes dan alat tulis. Lalu, begitu ada ide yang mampir, langsung tulis. Jangan buang waktu sama sekali.


  3. Tunda menulis ide = penyesalan tak berujung

  4. Sudah lebih dari sepuluh ide yang hinggap dan hilang karena tidak sempat ditulis.

    Bawa catatan dan alat tulis ke mana-mana. Siapkan di sebelah tempat tidur. Sebelum tidur, saat baru bangun, dan saat sedang boker adalah waktu-waktu di mana ide justru senang mampir.


  5. Hindari menulis skrip sebelum memiliki minimal dua puluh ide.

  6. Karena begitu kita mulai menulis skrip, ide baru yang muncul tidak akan lebih banyak dari lima. Dan umumnya merupakan pengembangan dari ide yang ada.

    Pikiran kita itu seperti mesin. Bisa di-tune up untuk prioritas pada kecepatan/kekuatan atau efisiensi. Namun, tidak bisa untuk dua-duanya sekaligus. Kalau cepat, berarti boros. Kalau efisien, berarti mengorbankan kecepatan.

    Dalam menulis juga begitu. Untuk mencari ide, kita mengejar efisiensi. Sebanyak mungkin menjaring ide yang mampir. Hindari komputer. Karena komputer membawa gangguan (distraction), dan bisa menggoda kita untuk berpindah modus. (Ini sekaligus penjelasan tambahan untuk poin 1.)

    Saat menulis skrip, kita fokus pada kecepatan atau kekuatan. Mesin kita begitu sibuk untuk menulis, sehingga kita tidak efisien lagi menjaring ide. Bisa jadi saat menulis ide-ide itu mampir, namun kita terlalu sibuk untuk sadar. Kita hanya sadar saat ide yang mampir mirip dengan yang sedang kita tulis.

    Lebih parah lagi kalau kita sedang menulis, sekaligus browsing internet atau chatting. Lupakan menangkap ide.

    Mari jujur saja: ide itu selalu mampir. Tapi kalau pikiran kita terlalu sibuk, kita tidak bisa menyadari bahwa ada ide yang mampir. Boro-boro mau menjaringnya.

    Jadi: kumpulkan ide sebanyak-banyaknya. Hindari komputer. Dan baru mulai menulis skrip setelah terkumpul banyak ide.

    Karena kami mencari tiga puluh sketsa, biasanya aku baru mulai menulis skrip saat sudah terkumpul tiga puluh ide. Sebelum itu, aku tetap fokus ke menangkap ide. Setelah lewat tiga puluh, baru... mulai menulis. Ubah setting pikiran menjadi kecepatan/kekuatan.

Selamat menulis. Break a pen!


____________________

Lebih lanjut mengenai mengubah pola pikir penulisan: Enam Topi Berpikir untuk Penulisan Kreatif.

Berbagi Pengalaman Penulisan Skenario Humor

Bagi sebagian yang belum tahu, saya dan donna sempat terlibat dalam penulisan skenario "Sketsa", acara komedi terbaru di TransTV. Walau pada akhirnya kami mengundurkan diri karena perbedaan prinsip, dari kerja sama ini kami mendapatkan banyak pembelajaran dan pengalaman.

Salah satunya karena kami sempat--dalam waktu dua hari--mengerjakan seratus sketsa komedi. Dalam segi banyaknya halaman, ini ekuivalen dengan empat episode untuk slot waktu 60 menit (termasuk iklan).

Pelajaran pertama: jangan lakukan itu lagi. Kecuali kalau memang sudah terbiasa.

Sayangnya, kami belum. Kecepatan rata-rata kami adalah 30 sketsa per dua hari. Jadi, itu seperti sprint gila-gilaan pada lima kilometer pertama maraton. Sisa perjalanan berikutnya, kami terpaksa terengah-engah dulu di tepi jalan.

Pelajaran berikutnya: jadwalkan penulisan.

Ini tampak aneh, karena penulisan kreatif adalah sesuatu yang tampak berlawanan dengan jadwal. Namun, percayalah, penjadwalan ini penting karena pada akhirnya, kita harus menepati tenggat waktu yang rutin. Salah satu dari poin penjadwalan adalah kapan kita tidak boleh "menulis", dalam arti duduk di depan komputer dan menulis skenario (corat-coret di kertas sih boleh.)

Dan kapan saat kita "rehat", dalam arti tidak berusaha keras menangkap ide. Namun, menjalani hari dengan santai sambil berbekalkan kertas dan pensil/pena. Kalau memang ada ide mampir, ya tangkap saja. Tapi kita tidak berkeliaran sambil jelalatan dan membawa jaring.

Dan terakhir: bersenang-senanglah. Karena itulah inti penulisan humor yang efektif.

Siapkan Enam Topi Berpikir Sebelum Menulis

Edward de Bono dalam bukunya, "Six Thinking Hats" menawarkan konsep yang praktis dalam bekerja sama secara tim, mengatasi masalah pribadi, maupun berinteraksi secara sosial.

Bagaimana kalau kita coba menerapkannya dalam menulis?

Enam topi berpikir merepresentasikan sudut pandang atau pola pikir berbeda yang sering kita gunakan sehari-hari. Sayangnya, kita seringkali menggunakan topi yang salah dalam situasi tertentu.

Sebagai contoh, seorang wanita mungkin mengeluhkan suatu masalah kepada pasangannya. Sang pasangan ini kemudian memberikan solusi yang logis kepada si wanita. Sayangnya, si wanita malah tersinggung.

Contoh lain, suatu tim kerja mengadakan sesi brainstorming untuk mencari ide kenapa produk mereka mandek di pasaran. Tetapi sesi yang seharusnya penuh dengan gagasan ini pun mentok di satu ide saja. Yang panjang adalah perdebatan dan saling menyalahkan.

Apa yang terjadi? Di contoh pertama, sang pria mengenakan topi biru, yang menganalisis masalah dengan tajam. Namun sang wanita mengenakan topi merah, yang berfokus kepada emosi. Wajar saja jika ia merasa tersinggung saat diberitahu bahwa masalahnya ada dalam dirinya.

Di contoh kedua, topi yang perlu dikenakan adalah topi kuning, yang mengeluarkan ide-ide secara kreatif. Namun, tampak ada yang mengenakan topi hitam, kemudian menyalahkan seseorang yang mengenakan topi merah.

Bagaimana dengan situasi penulisan? Kita ingin menulis flash fiction, tapi idenya tidak muncul-muncul. Kita malah melihat karya orang lain dan tergelitik untuk mengkritiknya. Sama saja. Di sini, kita mengenakan topi biru. Padahal seharusnya topi kuning.

Mengapa topi? Karena topi adalah sesuatu yang bisa kita ganti dengan mudah. Ini adalah visualisasi bagaimana kita dapat mengubah pola pikir kita dengan mudah pula. Tanpa sadar, kita sudah melakukannya. Namun, sering kali kita tidak sadar bahwa topi yang kita kenakan tidak cocok dengan situasi.


Kenali Topi-topi Berikut Ini


1) Topi hitam
Hitam melambangkan logika yang minim emosi. Di sini kita menganalisis dan memproses semua informasi apa adanya. Dan memberikan solusi apa adanya pula. Keunggulan topi hitam adalah dalam situasi yang membutuhkan pemikiran jernih tanpa campur tangan emosi. Namun, topi hitam membutuhkan semua informasi sudah ada untuk mengambil keputusan.

Anda ingin membuat outline novel atau buku nonfiksi? Kenakanlah topi hitam. Anda ingin membuat tabel karakter atau sinopsis plot? Topi hitam.


2) Topi putih
Topi putih melambangkan kertas yang kosong. Dan karena itu, membutuhkan isi. Ia menaruh kita dalam modus mencari informasi sebanyak-banyaknya. Dan informasi ini bersifat fakta, tanpa bumbu. Ini adalah topi yang perlu dikenakan pada masa di mana tidak cukup informasi untuk mengambil keputusan. Topi ini mengendalikan kita agar tidak melompat sembarangan dan mengambil kesimpulan tanpa pikir panjang.

Anda perlu riset? Jangan tunda-tunda lagi. Segera cari topi putih dan bergeraklah. Bingung bagaimana seorang karakter Sunda berinteraksi dengan keluarganya? Kenakan topi putih dan cari teman Anda yang bisa Anda wawancara.


3) Topi merah
Topi merah melambangkan semangat yang membara dan emosi yang menyala. Kenakan topi ini untuk merasakan apa yang diberitahu oleh emosi kita. Jangan terjun dalam situasi yang membutuhkan empati tanpa mengenakan topi ini. Topi merah pun dapat digunakan dalam sesi diskusi, karena insting dan naluri kadang dapat menyampaikan apa yang tidak terlihat di balik fakta.

Anda ingin menyelami kedalaman karakter Anda? Gunakan dulu topi merah. Rasakan apa yang tokoh Anda rasakan. Lempar ia di berbagai situasi penting. Saat sudah mulai mengenalnya, ganti kembali dengan topi hijau dan mulailah menulis.


4) Topi kuning
Topi kuning membuat kita dapat melontarkan ide-ide yang belum terpikirkan saat mengenakan topi lain. Karena topi kuning menolong kita melihat celah-celah solusi yang tidak umum. Bahkan kadang melanggar aturan itu sendiri. Topi kuning mendorong kita untuk sedikit nakal dan naif. Atau kembali menjadi anak-anak yang justru lebih sering menghasilkan solusi cerdas dalam sekejap sambil tertawa-tawa, dibandingkan orang dewasa yang terus mengerutkan kening sampai alis mata mereka bersatu.


5) Topi biru
Topi biru disukai para analis. Ia memudahkan mereka untuk melihat dan menemukan kesalahan dalam suatu hal. Jika ingin mencari tahu apa yang salah dan bagaimana seharusnya yang benar, segeralah kenakan topi ini. Berbeda dengan topi hitam, topi biru jelek dalam hal perencanaan. Ia hanya dapat melihat rencana yang ada, dan memberitahu apa yang salah.

Menulis ulang karya, menyunting kalimat efektif, mencari padanan kata yang lebih tepat--andalkanlah topi biru.


6) Topi hijau
Topi hijau mencerminkan produktivitas. Kenakan topi ini saat kita ingin berfokus kepada melakukan sesuatu, dan bukan membicarakannya. Keputusan apa pun yang dihasilkan saat mengenakan topi hitam tidak akan dijalankan kalau tidak segera menggantinya dengan topi hijau. Jika kita tahu apa yang salah setelah mengenakan topi biru, kita tidak akan melakukan apa pun berkaitan itu tanpa menggantinya dengan topi hijau. Begitu ada keputusan akan apa yang harus dilakukan, langsunglah cari topi hijau.

Saat Anda sudah memiliki bayangan akan apa yang ingin Anda tulis, segera kenakan topi hijau dan mulai menulis. Jangan berhenti dan bertanya, "Apa bagian ini sudah bagus? Apa paragraf ini sudah efektif?" Teruskan hingga selesai.


Bagaimana Aplikasinya dalam Penulisan?


Dalam penulisan kreatif, inilah yang perlu kita lakukan:
  1. Tentukan poin-poin penulisan yang akan Anda lakukan. Misalnya: mengembangkan outline, memunculkan ide, brainstorm, membuat sinopsis, membuat tabel karakter, riset, mulai menulis, lantas menyunting.

  2. Dalam tiap poin, kenali topi apa yang perlu.

  3. Kenakan topi yang sesuai dan mulailah beraksi.

  4. Jika ada kendala, berhenti dan lihat diri sendiri: apakah topi yang dikenakan tidak sesuai? Kalau tidak sesuai, segeralah ganti. Kalau masih sesuai, istirahatlah dulu. Kemudian lanjutkan.

Di Mana? Di Denda

Mengubah kebiasaan bertahun-tahun memang sulit. Dalam penyuntingan naskah, sebagian besar kesalahan penulisan yang saya temui berasal dari kebiasaan semenjak sekolah. Sebagai contoh adalah pembedaan "di-" sebagai awalan dan "di" sebagai kata depan.

Padahal aturannya sederhana.
  1. Sebagai awalan, penulisan "di" menyatu dengan kata kerja. Contoh: dikerjakan, ditulis, disayangi.

  2. Sebagai kata depan, penulisan "di" terpisah dengan keterangan tempat. Contoh: di sana, di rumah, di mana-mana.
Dengan kata lain: kalau terpisah, menunjukkan lokasi. Kalau tersambung, menunjukkan kata kerja pasif.

Sayangnya, kebiasaan lama memang sulit diubah. Perhatikan saja gerbang tol Padalarang menuju Bandung. Kedua contoh di atas malah terbalik.


Tiket harus "disini(kan)" untuk ditukar?

Berdasarkan papan ini: di gerbang exit Denda (di mana pun itu) tidak usah tukar tiket


Mengubah kebiasaan penulisan salah sama seperti mengubah kebiasaan buruk lain. Merokok, misalnya. Pertama-tama, munculkan dulu kesadaran bahwa ini salah. Kalau tidak, percuma saja. Kedua, memercayai manfaat atas kebiasaan yang benar. Kalau kita berprinsip, "Alah, nggak ngaruh lah. Orang lain juga ngerti (atau orang lain juga ngerokok--dalam kasus merokok)," dalam beberapa hari, gaya penulisan kita akan kembali ke yang salah.

Carilah manfaat bagi diri masing-masing. Dan ubahlah kebiasaan (penulisan) yang buruk.

____________________

NB: Banyak sekali kebiasaan buruk yang menyangkut penulisan tanda baca berkaitan dialog. Termasuk tanda seru dan tanya berlebihan.

Permainan Penulisan: Terburuk Sedunia

Jenuh atau mentok mencari ide? Permainan kepenulisan berikut bisa memecahkannya.

Bentuklah kelompok minimal tiga orang. Lantas tetapkan sesuatu yang terburuk sedunia. Misalnya, "Kalimat pembuka novel terburuk sedunia," atau yang pernah dimainkan dalam sebuah sesi Teater Teks Improv, "Rayuan Terburuk Sedunia." Masing-masing langsung lontarkan saja apa yang terpikirkan.

Permainan ini bisa dilakukan secara tatap muka maupun melalui konferensi teks seperti yang pernah saya lakukan bersama dua orang teman, Andi dan Alex.

Rayuan Terburuk Sedunia

Alex: "Di Ragnarok Online aku sudah level 99, lho..."

isman: "Sayangku, kau sama cantiknya dengan kembaranmu yang... euhm, lelaki ya?"

Andi: "Senyummu bagaikan matahari di malam hari."

Alex: "Cintaku, senyummu persis seperti ibuku..."
isman: "...saat melempar piring."

Alex: "Namaku Bill Gates..."
isman: "...tapi kau boleh memanggilku Bond."

Andi: "Kau seperti kue lapis; kulitmu putih... dan hitam."

isman: "Jika aku adalah gula, maka kamu adalah dextrose frubose dan vanilinnya."

Alex: "Main D&D Pen and Paper yuk..."
isman: "...dan mari kita buktikan apakah pena lebih tajam daripada pedang."
Andi: "Kalau kau Pen-nya, aku jadi Paper-nya."

Karena yang dicari adalah yang "terburuk", para pemain jadi terbebas dari kritik-diri. Dan jadinya malah lebih santai. Ide lebih mengalir. Dan tidak jarang malah saling menimpali ide orang. Saat itu terjadi, ingat-ingatlah perasaan yang kita alami. Itulah rasa energi alami kreativitas. Mengalir deras dan menyatu dengan gagasan lain.

Pun saat kerja sama kreatif mentok dan selalu penuh pertentangan, cobalah permainan "Terburuk Sedunia". Dan kembalikanlah semangat untuk bersenang-senang bersama.

Kreatif Beraturan? Itu Bukannya Kontradiksi? (Tip Penulisan Dialog)

Aturan umumnya memiliki dua fungsi: sebagai pengekang maupun sebagai konvensi. Dalam banyak hal, kedua fungsi ini terkait persepsi. Tergantung seseorang menyikapinya. Jika menganggap aturan sebagai sekedar kekangan, maka akan terkekanglah ia. Memang, ada beberapa aturan yang mau berpikir sepositif apapun tetap saja mengekang.

Aturan Nazi, contohnya, (Jika kamu bukan ras Arya, maka kamu inferior).

Namun, ada aturan lain yang bersifat sebagai pedoman menuju sistematis. Dan ini bermaksud baik. Misalnya, EYD berkaitan tanda baca. Aturan ini bermaksud membuat konvensi, sesuatu yang digunakan agar interpretasi pembaca sesuai dengan maksud penulis.

Saat membaca karya pop akhir-akhir ini, saya melihat banyak penulis yang melalaikan aturan tanda baca. Terutama berkaitan dialog. Dan ini cukup membingungkan karena, sebagai contoh, saya tidak bisa membedakan seorang karakter yang berteriak, "Kemarikan guci itu!!!!!!!!" dengan karakter lain yang membalas "TIDAK!!!" Apalagi saat karakter pertama membalas, "KENAPA tidak??!!!?!!"

Saya bingung karena tiga alasan:
  1. Bagaimana membedakan teriakan dengan tiga tanda seru (apakah seperti lolongan serigala?) dengan delapan tanda seru (lolongan Celine Dion?)
  2. Mana yang lebih keras; tiga tanda seru dengan huruf BESAR atau delapan tanda seru dengan huruf kecil?
  3. Guci seperti apa yang bisa mendorong orang untuk memperebutkannya dengan gaya sinetron?
Dengan maksud berbagi dan berdiskusi (siapa tahu Anda ingin memberi masukan seperti "Menurutku lebih ke arah lolongan Celine Dion digigit serigala, Man"), saya menyampaikan beberapa poin penulisan dialog yang saya tahu di bawah ini.


Lima Poin Penulisan Dialog

1) Koma, titik, tanda seru, atau tanda baca berada dalam kurungan tanda kutip ("), bukan di luarnya.

Contoh benar:
"Kira-kira seperti ini," ujar si Raru.
Contoh salah:
"Bukan seperti ini toh.", si Siuk menggaruk-garuk kepala.

2) Jika sudah ada titik, koma, tanda seru, atau tanda baca dalam tanda kutip, jangan diberi tanda koma lagi.

Contoh benar:
"Seperti ini?" tanya si penyunting.
Contoh salah:
"Ngaco, yang bener itu yang ini!", ujar si pencinta koma.

3) Penulisan dialog terpisah yang dua-duanya menggunakan tanda koma hanya boleh jika dialog tersebut adalah kalimat tunggal.

Contoh benar:
"Siapa," si Matupang menoleh, "itu?"
Benar karena "Siapa itu?" adalah kalimat tunggal.

Catatan: dengan sendirinya, "itu" ditulis dengan huruf kecil, karena merupakan bagian kalimat.

Contoh salah:
"Siapa," lirik si Sikananjalan, "Bukan aku, kok!"
Salah karena kalimat aslinya adalah "Siapa? Bukan aku, kok!"


4) Untuk penggunaan tanda kutip yang tidak menyangkut dialog, tanda baca diletakkan setelah tanda kutip.

Contoh:
Di halaman depan tertera "Makalah Tanpa Judul".

5) Tidak boleh ada dua karakter berbicara pada paragraf yang sama. Jika A sudah selesai bicara dan diganti dengan B, maka harus menggunakan alinea baru.

Ini adalah konvensi yang berfungsi untuk menjelaskan siapa yang bicara. Jadi dalam beberapa kasus, walaupun penulis tidak memberikan deskripsi, bisa ketahuan.

Contoh:
Toni melempar penghapus pada Felix. Dengan lentur, penghapus karet tersebut membal dari jidat temannya.

"Apaan, sih!" bentak Felix.

"Nggak apa-apa. Kita lagi perlu contoh dialog."

"Pake cara lebih sopan dikit, nape!"

Toni terdiam. Ia mengambil penghapus karet yang terpental balik ke dekat kakinya. "Permisi," ujarnya, sebelum melontarkan penghapus yang sama pada jidat Felix.

Pedoman penulisan EYD lain bisa disimak di blog Polisi EYD

Peter and the Starcatchers

Saya akui, saya mencari-cari buku ini dari tahun lalu hanya karena satu hal: salah satu pengarangnya adalah Dave Barry, penulis humor favorit saya.

Namun saat mendapatkan buku itu, alasan saya bertambah. Saya ingin mengetahui karya seperti apa jadinya jika seorang penulis humor berkolaborasi dengan penulis misteri (Ridley Pearson).

Membaca buku ini bagi saya mungkin seperti berlibur ke Pangandaran. Tidak jarang saya mengernyit melihat hal-hal yang bisa merusak pengalaman saya. Namun, berhubung saya mengkukuhkan diri untuk bersenang-senang, saya pun berjuang untuk mengabaikan semua yang mengganggu. Saya fokus ke hal-hal yang menghibur saja. Alhasil, begitu berakhir, saya pun pulang dengan perasaan puas.

Sebenarnya tentang apa buku ini?

Ini adalah prekuel novel Peter Pan and Wendy (oleh J.M. Barrie) versi mereka. Ide ini muncul saat Dave mendongeng kepada anaknya. Lantas sang anak bertanya, "Kenapa Peter bisa tinggal di Neverland?" Sebagai penulis humor, tentu saja dia berpengalaman dalam mengarang cerita di tempat. Namun, saat ia dengan asal menjelaskan dari mana Peter dan kenapa ia bisa terbang, ia tiba-tiba tertegun melihat ekspresi anaknya. Itu adalah ekspresi anak yang tercengang. Tak sabar menunggu lanjutannya. (Atau ingin ke toilet.)

Apa pun itu, ia akhirnya menceritakan idenya bersama Ridley Pearson, dan mereka pun memutuskan untuk menyusun bukunya. Cara mereka berkolaborasi pun cukup sederhana: masing-masing melempar satu bab, lewat email. Hasilnya, ada satu bab yang begitu panjang. Dan ada yang hanya beberapa halaman.

Secara keseluruhan, buku ini cukup menarik. Walaupun bagi saya, yang lebih menarik adalah gagasannya. Membuat prekuel dari sebuah kisah legendaris. Ini adalah ide yang muncul hanya pada orang-orang yang mau bertanya. Kenapa begini? Kenapa begitu?

Ironisnya, yang memunculkan ide itu adalah seorang anak.

Buku ini mengingatkan saya untuk kembali mempertanyakan berbagai hal. Terutama sebagai penulis. Jika kita begitu mudah untuk terbuai atau terkagumkan oleh karya-karya penulis lain. Bisa jadi, kita merasa bahwa semua hal sudah ditulis orang lain. Semua ide sudah diwujudkan. Tiada hal baru lagi di bawah sinar mentari. Apa lagi yang bisa kita tulis?

Itu adalah contoh pertanyaan yang salah. Jika kita mulai terjebak dalam situasi seperti itu, cobalah kembali jadi anak kecil. Apresiasilah karya. Atau malah peristiwa di sekitar kita. Lantas tanyakanlah.

"Wah, ceritanya asyik! Terus, kenapa tokoh utamanya bisa begitu? Eh, gimana kalau begini? Atau sekalian aja begitu?"

Atau

"Haha, kejadian tadi lucu juga. Gimana kalau ternyata yang datang buaya?"

Bisa jadi, itulah yang akan membuat kita jadi kembali bersemangat meneruskan karya kita. Atau memompa ide segar ke dalam benak kita yang mengempis.

Selamat bertanya dan menulis!

______________________

Poetry Slam!: Adu Berpuisi

Poetry slam atau adu puisi adalah sebutan untuk kompetisi pembacaan puisi. Siapa pun bebas mendaftar dan tampil di panggung untuk membacakan karya mereka. Penampilan tiap peserta kemudian akan dinilai. Umumnya peserta harus membaca karya sendiri. Namun ada juga yang tidak.

Adu puisi sangat populer di Amerika. Pertama kali dikenalkan oleh Marc Smith pada tahun 1984 di Chicago, kini bahkan ada kompetisi National Poetry Slam yang diikuti hingga 75 tim dan diselenggarakan berhari-hari. Populernya kontes berpuisi ini juga yang memicu kemunculan pementas syair (performance poet), para penyair yang memunculkan kekuatan kata melalui dengan mementaskannya. Termasuk di antaranya penyair hip-hop. Penyelenggaraan poetry slam sudah meluas hingga negara-negara Eropa. Di Asia-Pasifik, Singapura dan Australia termasuk yang sudah sering menyelenggarakan ajang serupa.

Di Indonesia, adu puisi masih jarang kita temui. Karena itu, "Better Read than Dead" Poetry Slam di Bebek Bengil adalah satu acara Ubud Writers and Readers Festival 2007 yang saya tunggu-tunggu.


Suasana Apresiatif
Hal Judge menjadi MC acara dan membawakannya sesantai DJ stasiun radio. Untuk mencairkan suasana penonton yang beragam (warga asing dan Indonesia), misalnya, ia menceritakan berbagai kecelakaan berbahasa yang ia catat selama di Indonesia. Sebagai contoh, di Ubud ia pernah disapa seorang warga lokal, "Hai, Haley. Mau ke mana?"

Berhubung Hal baru mempelajari idiom baru, ia lantas menggunakannya, "Makan angin." Sayang sekali, ia masih mengucapkannya dengan lidah bahasa ibunya, sehingga terdengar menjadi, "Makan anjin'."

Ia juga menyampaikan format dan aturan adu berpuisi malam itu:

  1. Puisi yang dibacakan harus karya sendiri

  2. Tim juri terdiri dari tiga orang yang ia tunjuk sebelumnya

  3. Tiga hal yang dinilai adalah: isi, penyampaian, dan penjalinan emosi dengan hadirin--yang akan dilihat dari riuhnya tepuk tangan.


Selagi menunggu peserta bertambah, ia mempersilakan dua orang penyair tamu untuk mulai.


Yang pertama adalah Miriam Barr dari Auckland. Seorang pementas syair berpengalaman, ia telah menjuarai berbagai ajang adu berpuisi, termasuk Poetry Idol. Pada penampilannya di Bebek Bengil, ia menunjukkan kekuatan visualnya dalam syair.


Berikutnya adalah Miles Merrill, yang disebut media massa sebagai "seorang pementas kata yang menakjubkan". Dan ia membuktikannya hanya dalam beberapa detik setelah memegang mikrofon. Melalui sketsa pembuka "I care for people", ia menunjukkan kisar dan bentuk vokal yang bervariasi. Plus humor yang menggelitik. Sebagai seorang kelahiran Chicago yang telah menjadi warga Australia semenjak sepuluh tahun lalu, ia mengajak hadirin menertawakan stereotipe dialek Australia yang sulit dimengerti.

Barulah kemudian ia masuk ke puisi sebenarnya. Ia membawakan dua karya. Salah satunya adalah puisi yang ia tulis ketika sedang berkemah di Australia. Angin topan meniup dan menggulingkan tenda, beserta dirinya yang masih di dalam. Miles mementaskan puisi tersebut seperti sebuah dongeng, menyeret hadirin ke dalam dunianya. Kadang ia menjadi angin. Menjadi tenda. Menjadi daun. Atau dirinya yang berteriak, "Stop pounding at my weak shelteeeeer!"

Tanpa sadar, kita menjadi telinga, hidung, dan mata Miles. Saat semuanya beralih sunyi. Dan ia menengadah, menyaksikan, "Half the sky is stars. Half the sky is stars."

Atap saung Bebek Bengil seperti mau roboh oleh tepukan tangan. Hal kemudian mengundang peserta pertama untuk maju. Dan inilah yang menakjubkan. Walaupun kesan penampilan Miles sangat dalam, ini tidak memengaruhi standar hadirin. Penonton tetap mengapresiasi dengan tulus pementasan tiap peserta.

Bahkan penampilan hancur seperti seorang peserta dari Rembang, yang mengaku bernama Gato Loco, tetap diberi applause. Seberapa hancur? Ia datang dengan menggunakan kacamuka hitam. Menyetel suara latar belakang ala militer. Merokok dengan sembarangan (karena sebenarnya dilarang). Lantas membaca puisi dengan gaya mabuk. Di tengah pembacaan, ia membuka kaos hingga memperlihatkan diri yang mengenakan kemben. Lantas setelah pentas berakhir, ia membagikan kertas berisi syair puisinya. Masih sambil merokok.


Bahkan Hagar Peeters yang tampil serampangan dengan gaya mabuk juga tetap diapresiasi. (Mungkin gaya mabuk sedang tren.)


Menikmati Beragam Suara
Yang menarik dalam sebuah slam adalah variasi "suara" para penyair. Ada yang membacakan puisi dalam nyanyian. Ada yang menampilkan emosi, cerita, atau karakter. Bisa berdasarkan pengalaman nyata maupun sama sekali rekaan.


Seorang peserta dari Malaysia yang membawakan puisi dengan nyanyian.


Abe Soares dari Timor Leste bahkan menggunakan gitar sebagai alat bantu.


Bisa tampil sendirian atau barengan. Debra Yatim, sebagai contoh membawakan puisi tentang Aceh yang dimuat dalam Asian Literary Review. Nelden dan Zulaika mendukung sebagai penyanyi latar. Saya dan Mas Wiratmadinata juga dimintai turut serta di sini sekadar untuk melafalkan dzikir.


Penilaian Tetap Tegas
Walaupun suasananya sangat apresiatif, ini tetaplah kompetisi. Sehingga juri tetap tegas. Kadek Krishna, sebagai jubir memberikan beberapa komentar tajam. Bukan hanya peserta, komentar ini juga menyangkut penyair tamu.

Penampilan Mas Wiratmadinata dan Angelo Suarez, misalnya. Keduanya memiliki kemiripan dalam pementasan pertama: sama-sama melibatkan penonton. Angelo mementaskan "puisi tererotik sedunia dalam satu menit" dengan cara meminta para hadirin menghitung dari satu hingga enam puluh keras-keras. Selama itu, ia berlarian sekeliling saung sambil terus-menerus berteriak, "This is an erotic poem for sixty seconds if I say so!"


Angelo berteriak, memekik, dan melengking di atas meja pada pembacaan puisi keduanya.


Sementara itu, Mas Wira membagi hadirin menjadi tiga bagian. Sisi kanannya diminta meneriakkan, "Ada anjing!" Sisi kirinya, "Ada serigala!" Sementara bagian tengah, "Dalam kepalaku!" Lantas ia memberi aba-aba bagian mana yang harus berteriak. Hingga makin lama makin cepat. Mas Wira sendiri ikut berteriak semakin keras, sehingga--hebatnya--mengalahkan suara hadirin. Rangkaian ini diakhiri dengan Mas Wira meneriakkan kalimat akhir, "Mencari kata-kata."

Walaupun sambutan untuk kedua penampilan ini luar biasa, Kadek Krishna berkomentar dengan nada bercanda, "Kalian semua sudah dimanipulasi. Sehingga standar kalian jadi rendah."

Ada peserta yang mengurungkan niat membaca puisi dan akhirnya malah bercerita pengalaman diri. Ada dua peserta yang membaca puisi dari SMS. Untuk kedua hal ini, jubir juri hanya menggeleng-geleng, "Not good."

Selanjutnya, juri pun mengumumkan para pemenangnya.


Daniella, pemenang pertama, yang membawakan puisi ala rap. Muncul menjelang akhir acara, sambutan penonton pada penampilannya bahkan mengalahkan riuh tepuk tangan untuk Miles.


Pemenang lainnya meliputi Kerry Pendergrast, penyanyi dan pementas teater yang sudah enam belas tahun tinggal di Bali, saat itu membawakan puisi berwawasan dalam dan humoris mengenai Ubud, Sekala-Niskala. Dan seorang peserta dari Jakarta yang melantunkan puisi dengan gaya vokal mirip Beyonce. Nilai kedua peserta ini seri, sehingga mereka harus mengulang kembali penampilan. Hasil akhir ditentukan dari tepuk tangan hadirin.

Dan acara ini pun berakhir. Ironisnya, Hal Judge, sang pengumpul insiden berbahasa, justru kecelakaan saat menutup acara. Ketika berterima kasih pada pihak restoran Bebek Bengil, ia mengucapkannya sebagai "Bebek Bangle". Setidaknya ia jadi punya bahan untuk adu puisi tahun depan.


Mempopulerkan Adu Puisi Di Indonesia
Berat rasanya meninggalkan acara tersebut. Suasana kreatif dan apresiatif di dalamnya begitu memabukkan. Hanya dengan menghadiri acara tersebut, saya jadi ingin menguntai kata dan mementaskan cerita. Padahal saya bukan penyair. Seperti yang saya tulis dalam prakata Bertanya atau Mati, usaha saya membuat puisi bisa membuat seekor tikus yang terjebak perangkap terdengar seperti Shakespeare.

Namun itulah intinya: acara ini membuat orang-orang jadi berani dan bersemangat untuk menulis maupun menikmati puisi. Dan ini jauh lebih penting daripada mendiskusikan teori-teori kesusasteraan.

Bayangkan acara-acara seperti ini marak dalam kegiatan sekolah seperti pensi, misalnya. Atau menjadi alternatif kegiatan di kampus, alih-alih pentas musik ingar-bingar yang selalu menyetel 40 lagu terpopuler saat itu.
Bayangkan puisi menjadi bagian dari kehidupan normal, sehingga seseorang dapat berkata kepada temannya, "Eh, pernah dengar puisi ini nggak?" Dan temannya benar-benar mendengarkan. Bukan malah menertawakan.

Mengapa tidak?